A.1.
Prinsip Umum Perlindungan Konsumen.
Menurut Fitzgerald,
perlindungan hukum Salmond menyatakan bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan
dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu
lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat
dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan dilain pihak.[1]
Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan
kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk
menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.[2]
Satjipto Raharjo
mengemukakan bahwa, Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap
hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu
diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan
oleh hukum.[3]
Perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon dapat
dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu : [4]
a.
Perlindungan Hukum Preventif.
Perlindungan ini memberikan kesempatan pada rakyat
untuk mengajukan pendapat sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang
definitif. Perlindungan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Hal
ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah
suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam
melakukan suatu kewajiban.
b.
Perlindungan Hukum Represif.
Perlindungan hukum
represif adalah perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan
hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah
dilakukan suatu pelanggaran. Perlindungan ini bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa.
Hukum perlindungan konsumen berawal dari
adanya gerakan perlindungan konsumen di Amerika Serikat sekitar abad ke-19
dengan terbentuknya Liga Konsumen Nasional (The
National Consumer’s League). Negara Indonesia menganggap masalah perlindungan
konsumen mulai penting ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) pada tahun 1973, dan berujung pada lahirnya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 terntang Perlindungan Konsumen.[5]
Sebelum adanya undang-undang
perlindungan konsumen (UUPK) telah banyak ketentuan hukum yang telah memberikan
perlindungan kepada konsumen, dan ketentuan tersebut masih tetap berlaku
sepanjang tidak diatur secara khusus atau bertentangan dengan undang-undang
Perlindungan Konsumen.[6]
Perlindungan
konsumen di bidang hukum privat banyak ditemukan dalam KUHPerdata, dalam Buku
III tentang perikatan, antara lain ketentuan tentang wanprestasi (Pasal 1243
sampai dengan Pasal 1252) serta ketentuan tentang perikatan yang lahir karena
perjanjian (Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351) dan perikatan yang lahir dari
undang-undang (Pasal 1352 sampai Pasal 1369), terutama perbuatan melanggar
hukum Pasal 1365 sampai Pasal 1369.[7]
Dilihat secara
umum, bahwa tuntutan ganti rugi kerugian atas kerugian yang dialami oleh
konsumen sebagai akibat pelanggaran hak-hak konsumen berdasarkan pada beberapa
ketentuan diatas, hanya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti rugi berdasarkan
wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum.[8]
Selain
ketentuan dalam KUHPerdata perlindungan terhadap konsumen dapat dilihat di
Amerika serikat, sebagai negara yang telah dikenal secara baik memberikan
perlindungan kepada konsumen. Di Amerika Serikat untuk pertama kalinya konsumen
hanya dapat diberikan perlindungan hukum jika terdapat hubungan kontraktual
dengan penjual, karena berlaku asas “no
privity no liabiliti”, yang berarti bahwa pihak ketiga tidak memiliki dasar
untuk menggugat apabila mengalami kerugian akibat penggunaan produk cacat,
karena dasar gugatan hanya wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum.[9]
Menurut
Nurhayati Abbas dan didukung oleh Johanes Gunawan, dalam bukunya Profesor Ahmadi
Miru yang berjudul “Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di
Indonesia”, mengatakan bahwa, asas “caveat
emptor”, “no liability if no privity” atau “no privity no liability”, memang umum digunakan sebagai
perlindungan industri yang baru lahir atau masih dalam pertumbuhan. Pandangan
yang seolah-olah mengorbankan masyarakat dengan membiarkan memikul segala
risiko, segera berubah jika industri dan perdagangan mulai menguat. Dengan
demikian, strategi bisnis product
oriented policy yang tidak memperhatikan kepentingan kepentingan dan
keselamatan konsumen sehingga berlaku adagium caveat emptor, diubah menjadi costumer
oriented policy, yaitu kebijakan dalam pemasaran yang di dasarkan pada
keyakinan bahwa apa yang dihasilkan oleh produsen harus sesuai dengan tuntutan,
kriteria, dan kepentingan konsumen, sehingga produsen harus berhati-hati dalam
memproduksi barang, sehingga berlakulah adagium caveat venditor.[10]
Setelah
lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen maka
Indonesia mempunyai payung hukum yang khusus mengenai perlindungan konsumen.
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
(UUPK), perlindungan konsumen menganut lima asas, yaitu :
- Asas-asas manfaat;
- Keadilan;
- Keseimbangan;
- Keamanan dan keselamatan
konsumen,
- Kepastian hukum.
Lima
prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: [11]
1. Prinsip
Manfaat.
Prinsip
ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindingan konsumen harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Prinsip
keadilan.
Prinsip
ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh
haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil.
3. prinsip
keseimbangan.
Prinsip
ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha,
konsumen dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.
3. Prinsip
keamanan dan keselamatan konsumen.
Prinsip ini dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang digunakan.
4. Prinsip
Kepastian Hukum.
Prinsip
ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, dimana Negara
dalam hal ini turut menjamin adanya kepastian hukum.
Perlindungan
konsumen diadakan sebagai usaha bersama dalam hal pembangunan nasional. Kelima
asas perlindungan konsumen pada Pasal 2 UUPK tersebut dapat dikatakan bahwa
perlindungan konsumen memiliki dua sisi yang berbeda, disatu sisi merupakan
sisi konsumen dan di sisi lain dari sisi pelaku usaha.[12]
A. 2. Hubungan Hukum Pelaku Usaha
dengan Konsumen.
Bentuk tanggung jawab para pelaku
usaha dimulai dari adanya hubungan hukum di antara kedua belah pihak dalam
suatu perikatan. Asumsi yang mendasari suatu perikatan dan sekaligus memberikan
ide dasar pemikiran mengenai perlindungan konsumen adalah kebebasan setiap
orang untuk membuat perjanjian apapun sesuai yang diinginkan.[13]
Umumnya
dalam suatu transaksi bisnis, konsumen berada dalam posisi lemah dan tidak
mempunyai daya tawar yang seimbang, jika berhadapan dengan pelaku usaha. Hal
tersebut dikarenakan keawamannya, sarana
pengaduan sering tidak dimanfaatkan oleh konsumen sehingga kasus-kasus di
bidang konsumen menjadi jarang muncul di permukaan, dalam transaksi online pengaduan konsumenpun sulit
dituntaskan karena kendala identitas terlapor atau teradu yang tidak mudah di identifikasi.[14]
Menurut
Sadjipto Raharjo konsep dasar hubungan konsumen dengan pelaku usaha ini
membutuhkan suatu pengaturan sistem perlindungan konsumen yang terpadu. Sebelum
berlakunya UUPK, perlindungan konsumen di Indonesia bukan merupakan suatu
sistem karena pengaturannya tidak terpadu. Dari segi kerangka (legal framework), tanpa kehadiran UUPK
pun norma-norma perlindungan konsumen sudah ada, hanya saja ketentuan-ketentuan
tersebut tersebar dalam berbagai instrumen hukum-hukum pokok, dan bukan pada
hukum-hukum sektoral.[15]
Selanjutnya
dalam menyikapi hubungan konsumen dengan pihak pelaku usaha ini, perlu dipahami
doktrin atau teori yang mendasari adanya hubungan hukum antara kedua belah
pihak, doktrin atau teori hubungan hukum ini meliputi prinsip-prinsip caveat emptor, the due care theory, the privity of contract, dan prinsip kontrak bukan merupakan syarat.[16]
Dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Caveat
Emptor.
Teori ini
disebut juga let the buyer beware atau
pembeli berhati-hatilah yang merupakan dasar dari lahirnya sengketa di bidang
transaksi konsumen. Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah
dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu adanya proteksi apapun bagi
pihak konsumen. Doktrin tersebut kemudian berkembang ke arah caveat venditor dimana pelaku usaha
adalah pihak yang paling mengetahui informasi secara benar, jelas, dan jujur
atas setiap barang dan atau jasa yang di konsumsi. Jadi pihak pelaku usaha
harus lebih waspada dan berhati-hati dalam memproduksi sesuatu, jangan sampai
bertentangan dengan tututan, kriteria, dan kepentingan konsumen. [17]
b. The
due Care Theory.
Teori ini menekankan pada prinsip kehati-hatian bagi
pelaku usaha dalam memasarkan produk-produk, baik barang maupun jasa. Teori ini
dapat disamakan dengan prinsip caveat
venditor. Selama berhati-hati dengan produknya, tentu saja ia tidak dapat
dipersalahkan. Menjadi pertanyaan adalah sampai berapa jauh definisi “suatu
tindakan pelaku usaha sudah dilakukan dengan hati-hati”. Dalam ketentuan UUPK
perihal kehati-hatian pelaku usaha tidak ditegaskan, tentunya jika terjadi
sengketa konsumen, dibutuhkan penafsiran hakim menurut prinsip keadilan dan
keyakinan yang dimiliki. [18]
c.
The Privity of Contract
Di dalam
doktrin ini, terkandung prinsip “tidak ada hubungan kontraktual, tidak ada
tanggung jawab” (no privity-no liability
principle). Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban
melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka
telah didasari oleh hubungan kontraktual. Artinya gugatan yang dapat diajukan
konsumen berdasarkan wanprestasi (breach
of contract). [19]
d.
Prinsip
kontrak bukan merupakan syarat.
Prinsip
ini merupakan kebalikan privity of
contract, yaitu prinsip yang tidak mensyaratkan hubungan kontraktual antara
pelaku usaha dengan konsumen. Akibat proses industrialisasi dalam memproses
suatu produk, akan timbul permasalahan sehubungan dengan adanya barang-barang
atau produk cacat yang merugikan konsumen, baik arti finansial, nonfinansial,
bahkan kerugian jiwa. Permasalahannya adalah tuntutan pihak korban (konsumen)
akibat produk atau barang yang cacat (defective
product) tersebut. Berdasarkan ketentuan umum hukum perdata yang berlaku,
pihak konsumen yang menderita kerugian akibat produk atau barang yang cacat
dapat menuntut pihak produsen secara langsung, atau menuntut pihak pedagang
darimana barang tersebut dibeli, berdasarkan perbuatan melawan hukum (Pasal
1365KUHPerdata).[20]
Pembahasan
dalam transaksi online peneliti
memilih meggunakan prinsip privity of
contract, karena dalam undang-undang ITE yang mengatur transaksi
elektronik, mengamanatkan bahwa dalam transaksi online mengakui adanya e-contrac
meskipun dalam bentuk digital.
Menurut
undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen, pasal 1 ayat (1) pengertian perlindungan konsumen adalah segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen.
Jual beli
melalui media internet (ecommerce) sebenarnya
sama dengan jual beli pada umumnya hanya saja cara yang digunakan berbeda,
seperti jual beli pada umumnya maka jual beli lewat internet juga ada
perlindungan hukum bagi konsumen agar dalam membeli barang sesuai dengan yang
ditawarkan oleh penjual, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi pembeli juga
penjual atau produsen (pelaku usaha). Dasar berlakunya hukum perlindungan
konsumen yaitu UU Nomor 8 Tahun 1999, dalam jual beli online melalui sosial media / jejaring sosial dapat berdasarkan
pasal 1 ayat (1), (2), (3), dan (4) dan (10) dapat diuraikan sebagai berikut :
Perlindungan
konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan hukum
kepada konsumen.
Konsumen
adalah setiap
orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhuk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
Pelaku
Usaha adalah setiap
orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri, maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai bidang kegiata
ekonomi.
Barang
adalah setiap
benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik begerak maupun tidak bergerak,
dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
Klausa
Baku adalah setiap
aturan atau ketentun dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Berdasarkan
pasal diatas maka berlakulah undang-undang perlindungan konsumen dalam jual
beli online dengan analisis sebagai
berikut :
a. Pembeli merupakan konsumen, sehingga berdasar pasal
dia konsumen dilindungi oleh undang-undang perlindungan konsumen;
b. Pembeli adalah pemakai barang sehingga bisa disebut
dengan konsumen;
c. Penjual adalah orang perseorangana atau badan usaha
yang melakukan usaha di Indonesia;
d. Obyek jual beli bisa berupa barang atau jasa yang boleh
diperjual belikan dan tidak dilarang oleh undang-undang, ketertiban umum dan
kesusilaan merupakan hak cipta atau hak kebendaan, sehingga termasuk kriteria
barang yang dimaksud dalam undang-undang perlindungan konsumen;
e. Perjanjian antara penjual dan pembeli atau disebut
perjanjian jual beli dalam jual beli online bisa berbentuk perjanjian baku yang
dibuat sepihak oleh pelaku uasaha, atau non-baku yang isi perjanjian
berdasarkan negosiasi antara penjual dan pembeli;
Maka
analisis tersebut, jual beli online dilindungi
oleh undang-undang perlindungan konsumen, jika barang yang diperjual belikan
tidak dilarang, karena telah memenuhi unsur-unsur yang ditentukan oleh
undang-undang perlindungan konsumen.
Pada
kenyataannya UUPK tidak sempurna pada saat diterapkan dalam kasus e-commerce, maka diperlukan
undang-undang lain seperti UUITE untuk mendukung UUPK dalam penerapannya dalam
perdangan online. Undang-undang saja
tidak cukup untuk memperkuat dasar argumen untuk melindungi para konsumen dalam
transaksi online maka diperlukan
asas-asas hukum umum dan ilmu pengetahuan hukum yang berkembang dalam ilmu
hukum yang bersumber dari Doktrin para ahli hukum, doktrin tersebut sebagai
salah satu sumber hukum yang memperkuat perlindungan hukum bagi konsumen
khususnya dalam transaksi online.
[1]Satjipto
Raharjo, 2000, ilmu hukum, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung. hlm. 53
[2]Ibid, hlm. 69
[3]Ibid, hlm. 54
[4]Rachmawati
Hakim, 2015, Perlindungan Hukum Hak Cipta
Terhadap Penyebaran Anime-Subtitle yang di Unggah Komunitas Online Tertentu
Secara Ilegal, Tesis Mkn Undip, Semarang. hlm. 19-20
[5]Emon Makarim,op.cit, hlm.345
[6]Ahmadi Miru, 2011, Prisip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen Di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta. hlm.70-71
[7] ibid. hlm. 71
[8] loc. cit
[9] Ibid, hlm 42
[10] loc. cit
[11] Edmon Makarim, op.cit. hlm. 352
[12]Yusuf Shofie, 2008, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen
di Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. hlm.154
[13]Edmon Makarim, op.cit. hlm.354
[14] ibid. hlm.356
[15] ibid. hlm.357
[16] ibid. hlm.358
[17] ibid. hlm.359
[18] ibid. hlm.360
[19] ibid. hlm.360-361
[20]ibid. hlm.362-363
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik agar tidak melanggar hukum dan agama