Ketika Personal Injury Lawyers
menghadapi klien yang mempunyai masalah dengan keperdataan khususnya tentang
perjanjian atau perikatan, yang berkaitan erat dalam dunia bisnis, mau tidak
mau harus mengerti dan paham secara meyeluruh apa itu perikatan, perjanjian,
kontrak atau perjanjian jual beli. Peran Personal Injury Lawyers dalam dunia
digital saat ini sangatlah penting bagi perorangan pelaku usaha digital
(ecommerce) sebagai konsultan hukumnya agar terhindar dari masalah hukum. Berikut
pemaparan dari kami, semoga bermanfaat.
1. Perikatan.
Perikatan
diatur dalam buku III KUHPerdata, namun definisi perikatan diberikan oleh ilmu
pengetahuan, yaitu : “Suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara
2 orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajibab atas sesuatu”.[1]
Sumber perikatan adalah perjanjian
dan Undang-Undang. Sumber perikatan dari undang-undang dapat dibagi menjadi
bersumber dari undang-undang saja dan bersumber dari undang-undang diakibatkan
perbuatan manusia. Perikatan yang bersumber dari undang-undang akibat perbuatan
manusia dibagi menjadi dua yaitu perbuatan manusia yang menurut hukum dan
perbuatan manusia yang melawan hukum.[2]
1.1.
Perikatan yang bersumber dari undang-undang.
Perikatan
yang bersumber dari Undang-undang (1352 KUHPerdata) yaitu : [3]
a.
Perikatan
bersumber dari undang-undang saja.
Termuat
dalam pasal 104 dan 625 KUHPerdata, yaitu : Pasal 104 KUHPerdata berbunyi :
“Suami dan isteri, dengan mengikatkan diri dalam suatu perkawinan, dan hanya
karena itu pun, terikatlah mereka dalam suatu perjanjian bertimbal balik, akan
memelihara dan mendidik sekalian anak mereka”. Pasal 625 KUHPerdata berbunyi :
“Antara pemilik-pemilik pekarangan yang satu sama lain bertetanggaan, adalah
berlaku beberapa hak dan kewajiban, baik yang berpangkal pada letak pekarangan
mereka karena alam, maupun yang berdasar atas ketentuan undang-undang.”
b. Perikatan yang bersumber dari undang-undang akibat
Perbuatan manusia.
Pasal
1353 KUHPerdata berbunyi : “Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau
dari perbuatan melanggar hukum,”
· Perbuatan yang menurut hukum.
Diatur
dalam pasal 1354 KUHPerdata yang berbunyi: “jika seseorang dengan sukarela,
dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan
atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya
untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang
diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Ia memikul segala
kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia kuasakan dengan suatu pemberian
kuasa yang dinyatakan dengan tegas”.
Selain pasal tersebut juga diatur dalam pasal 1359 KUHPerdata yang
berbunyi : “Tiap-tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu utang, apa yang
telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali. Terhadap
perikatan-perikatan bebas, yang secara sukarela telah dipenuhi, tak dapat
dilakukan penuntutan kembali.”
·
Perbuatan
yang melawan hukum.
Diatur
dalam pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi: “tiap perbuatan melanggar hukum,
yang membawa kerugiankepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Menurut Purwahid Patrik, perbuatan tersebut sering
disebut Perbuatan Melawan Hukum, yang mana perbuatan dapat digolongkan dalam
Perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur-unsur, antara lain : [4]
- Harus ada perbuatan;
- Perbuatan
tersebut melawan hukum;
- Harus ada
kesalahan;
- Harus ada
hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugian;
- Harus ada
kerugian.
1.2. Perikatan yang bersumber dari perjanjian.
Perikatan
yang bersumber dari perjanjian dapat dibedakan benjadi 2 yaitu perjanjian
bernama dan tidak bernama. Perjanjian bernama dan perjanjian
tidak bernama berdasarkan pasal 1319 KUHPerdata yang berbunyi : ”semua
perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal
dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat
didalam bab ini dan bab lain.”
1.
Perjanjian
bernama;
Dikatakan perjanjian bernama karena
didalam KUHPerdata telah mengenalnya atau telah diberi nama oleh KUHPerdata,
adapun perjanjian bernama ada 15 macam, antara lain : [5]
a.
Jual-beli,
b.Tukar-menukar;
c.
Sewa-menyewa;
d.
Perjanjian melakukan pekerjaan;
e.
Persekutuan perdata;
f.
Badan hukum;
g.Hibah;
h.Penitipan
barang;
i.
Pinjam pakai;
j.
Pinjam-meminjam;
k.Pemberian
kuasa;
l.
Bunga tetap (abadi);
m. Perjanjian
Untung-untungan;
n.Penanggungan
hutang;
o.Perdamaian.
2.
Perjanjian tidak bernama.
Semua jenis perjanjian yang dibuat
selain perjanjian bernama disebut sebagai perjanjian tidak bernama, dikarenakan
sifat dari buku III KUHPerdata adalah terbuka, maksudnya para pihak bebas
membuat semua jenis perjanjian dengan ketentuan dan batasan yang diatur oleh
undang-undang. Semisal perjanjian kerjasama, perjanjian lisensi, perjanjian
penerbitan hak cipta dan sebagainya.
2. Perjanjian.
Berdasarkan pasal 1313 KUHPerdata,
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut Subekti suatu perjanjian adalah
peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa itu timbulah
suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan dengan perikatan.
Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.
Bentuk perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung
janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau di tulis.[6]
· Asas-asas
perjanjian.
Hukum perjanjian memiliki
beberapa asas penting yang perlu diketahui sebagai dasar suatu perjanjian,
yaitu:[7]
a. Sistem terbuka (open
system).
Asas ini mempunyai arti, bahwa
mereka yang tunduk dalam perjanjian bebas dalam menentukan hak dan
kewajibannya. Asas ini disebut juga dengan asas kebebasan berkontrak, yaitu
semua perjanjian yang dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya (pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata), asas kebebasan berkontrak ini
tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan hukum
(dilarang undang-undang).
b. Bersifat
pelengkap (optional).
Hukum perjanjian bersifat
pelengkap artinya pasal-pasal dalam hukum perjanjian boleh disingkirkan, apabila
pihak-pihak yang membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari
pasal-pasal undang-undang. Apabila dalam perjanjian yang mereka buat tidak
ditentukan, maka berlakulah ketentuan undang-undang.
c. Berasaskan
konsensualisme.
Asas ini memiliki arti, suatu
perjanjian lahir sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak, hal
demikian sesuai dengan syarat sahnya suatu perjanjian (pasal 1320 KUHPerdata).
d. Berasaskan
kepribadian.
Asas ini maksud nya adalah
perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Menurut pasal 1315
KUHPerdata, pada umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama
sendiri atau diminta ditetapkan suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri.
Menurut pasal 1340 KUHPerdata, suatu perjanjian hanya berlaku antara
pihak-pihak yang membuatnya dan tidak dapat membawa kerugian bagi pihak ketiga.
Selain asas-asas diatas juga
dijelaskan beberapa asas dalam perjanjian, antara lain:[8]
1.
Asas Kekuatan Mengikat : Bahwa
pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan, sebagaimana disebutkan
dalam pasal 1338 KUHPerdata, bahwa perjanjian berlaku senagai Undang-Undang
bagi para pihak.
2.
Asas Kebebasan Berkrontrak : Orang
bebas, membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya
dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu ata tidak dan bebas
memilih Undang-Undang mana yang akan dipakai untuk perjanjian itu.
3.
Asas Iktikad Baik.
Berdasar pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, kata
iktikad baik berasal dari hukum Romawi yang disebut “bona fides” berarti berbuat berdasarkan pengertian yang baik,
jujur dan lurus. Dalam berlakunya iktikad baik bisa berlaku sebagai pelengkap
yaitu bahwa iktikad baik dapat dimaksudkan sebagai pelegkap oleh hakim dalam
suatu perjanjian yang menghadapi keadaan yang lain dari apa yang dibayangkan
semula dengan mengingat dari sifat perjanjian itu yang dapat diambil dari
sumber-sumber yang tercantum dalam Pasal 1339 KUHPerdata ialah kepatutan,
kebiasaan dan undang-undang. Iktikad baik berlaku sebagai menyampingkan yaitu
apabila hakim mengambil keuntungan dari keputusan dengan menysihkan atau
merubah suatu perjanjian, atau perkataan lain isi formil dari perjanjian (pactum) harus menyisih demi kepantasan
dan kepatutan. [9]
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dan 1339
KUHPerdata tentang iktikad baik dan kepatutan diterapkan sebagai untuk merubah
atau melenyapkan isi dari perjanjian. Hal tersebut lebih menonjol tentang
penafsirannya, sebagaimana perjanjian pada umumnya dibuat oleh para pihak
dengan iktikad baik sampai pada penafsiran itu dilakukan. Jadi asas iktiad baik
ini meliputi juga dalam penafsirannya.[10]
· Syarat
sahnya perjanjian.
Menurut
pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya suatu perjanjian adalah, sebagai berikut : [11]
a. Sepakat
mereka yang mengikatkan diri.
Hal
ini dimaksudkan, bahwa para pihak yang hendak mengadakan suatu perjanjian harus
terlebih dahulu bersepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari
perjanjian yang akan diadakan itu. Kata sepakat tidak sah apabila kata sepakat
itu diberikan karena kakhilafan, paksaan atau penipuan (pasal 1321 KUHPerdata).
b.
Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian.
Pada dasarnya setiap
orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika oleh undang-undang
dinyatakan tidak cakap (pasal 1329 KUHPerdata). Menurut pasal 1330 KUHPerdata,
mereka yang tidak cakap membuat suatu perjanjian adalah :
1.
Orang yang belum dewasa;
2.
Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3.
Orang perempuan dalam hal-hal yang
ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian tertentu.
Akibat ketidak cakapan
ini adalah bahwa pejanjian yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalan kepada
hakim.
c.
Adanya hal tertentu.
Adanya
suatu hal tertentu adalah menyangkut obyek perjanjian harus jelas dan dapat
ditentukan. Menurut pasal 1333 KUHPerdata, suatu perjanjian harus mempunyai
sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah
menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu
dikemudian hari dapat ditentukan atau dihitung. Menurut pasal 1332 KUHPerdata,
hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok
suatu perjanjian. Selanjutnya menurut pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata,
barang-barang yang akan baru ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu
perjanjian.
d.
Adanya suatu sebab yang halal.
Adanya suatu sebab yang
halal (causa dalam bahasa latin) yang
halal ini adalah menyangkut isi perjanjian yang tidak bertentangan dengan
kepentingan umum, kesusilaan, dan tidak dilarang undang-undang (pasal 1337
KUHPerdata). Undang-undang memperdulikan apa yang menjadi sebab orang
mengadakan suatu perjanjian, yang diperhatkan undang-undang adalah isi dari
perjanjian tersebut yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai. Menurut pasal
1335 KUHPerdata, suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena
sesuatu yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.
Apabila syarat yang pertama
tidak dipenuhi (a dan b), maka perjanjian dapat dibatalkan (syarat subyektif).
Dua syarat yang terakhir (c dan d ), maka jika tidak dipenuhi maka batal demi
hukum (syarat obyektif). Perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian
sejak semula batal dan tidak mungkin menimbulkan akibat hukum bagi kedua belah
pihak. Perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum adalah batal demi hukum. Sedangkan perjanjian dapat dibatalkan,
artinya salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta agar perjanjian itu
dibatalkan.
[12]
3. KONTRAK.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa Kontrak sama dengan
perjanjian ada juga yang berpendapat kontrak adalah perjanjian yang tertulis
dalam bidang hukum bisnis. Salah satu contoh yang menyatakan kontrak sama
dengan perjanjian adalah Salim H.S. dalam bukunya “Hukum Kontrak” ia menyatakan
istilah kontrak dari bahasa ingris yaitu contracts,
sedangkan dalam bahasa Belanda disebut overeenkomst
(perjanjian). Menurut pasal 1313 KUHPerdata “Perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih” menurut Salim H.S. definisi perjanjian dalam pasal 1313KUHPerdata kurang
jelas, maka diperjelas menurut doktrin hukum lama “perjanjian adalah perbuatan
hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Menurut teori
baru dikemukakan oleh Van Dunne “perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara
dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.
Maka dapat disimpulkan Kontrak atau perjanjian adalah hubungan hukum antara
subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta
kekayaan, dimana subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga
subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai
dengan yang telah disepakatinya.[13]
Kontrak termasuk dalam
perikatan namun perikatan tidak selalu kontrak, menurut Satrio perikatan
merupakan suatu pengertian hukum dan karenanya tidak ada wujudnya, sedangkan
yang nampak, kalau ia berbentuk perjanjian tertulis adalah perjanjiannya,
perikatan tidak sama dengan perjanjian, perjanjian yang tertulis disebut
kontrak.[14] Uraian tersebut menjelaskan bahwa
hukum yang berlaku dalam kontrak sama dengan hukum yang berlaku dalam
perjanjian, mengenai ketentuan-ketentuannya, hanya saja kontrak lebih ditujukan
kepada perjanjian yang tertulis.
4. PERJANJIAN JUAL BELI.
“Jual
beli menurut KUHPerdata adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana
pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu
barang, sedang pihak yang lain nya (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang
terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut”.[15]
Menurut
Abdulkadir Muhammad “jual beli adalah perjanjian dengan mana penjual
memindahkan atau setuju memindahkan hak milik atas barang kepada pembeli
sebagai imbalan sejumlah uang yang disebut juga harga.”[16]
Unsur
pokok atau essensiallia perjanjian
jual beli adalah barang dan harga, asas konsensualisme dalam perjanjian
menunjukan saat terjadinya jual beli atau lahirnya perjanjian jual beli adalah
saat tercapainya kata sepakat mengenai barang dan harga, maka lahirlah
perjanjian jual beli tersebut.[17]
Tentunya bagi Personal Injury Lawyers
pengertian perikatan, perjanjian, kontrak dan perjanjian jual-beli harus
dimengerti, karena saat menangani kasus perdata yang terkait dengan hal buku
III KUHPerdata, khususnya tentang perjanjian dalam kasus wan prestasi atau
perbuatan melanggar hukum.
[1]Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, CV.Mandar
Maju, Bandung. hlm.2
[2]ibid. hlm. 9
[3]loc.cit.
[4]Ibid.
hlm. 78
[5]Habib Ajie, 2014, Merajut Pemikiran dalam Dunia
NOTARIS&PPAT, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. hlm.2
[6]R. Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta.
hlm.1
[7]P.N.H. Simanjuntak, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia,
Djambatan, Jakarta. hlm.332-333
[8]Purwahid Patrik, 1986, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan dalam
Perjanjian, Penerbit UNDIP, Semarang. hlm.3
[9]ibid. hlm.17-19
[10]ibid. hlm.17-19
[11]ibid. hlm.334-335
[12]Loc.cit
[13]Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak (Teori & Praktek Penusunan
Kontrak)-cetakan ke8, Sinar Grafika, Jakarta. hlm.25-26
[14]Budiono Kusumohamidjojo, op.cit. hlm.13
[15]R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung. hlm.1
[16]Abdulkadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.
hlm.243
[17]R. Subekti, op.cit. hlm.2
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik agar tidak melanggar hukum dan agama