Salah satu sumber hukum adalah Teori Hukum yang
telah berlaku menyeluruh (universal), cocok (disuatu tempat) dan diakui
kebenaran atas teori tersebut, sehingga semestinya sumber hukum tersebut sesuai
dengan hakikat hukum itu sendiri (filsafat hukum). Sumber-sumber hukum yang
diterapkan atau dipakai untuk menjawab isu hukum (permasalahan hukum), maka
penting untuk diselaraskan agar sumber hukum yang digunakan sejalan dengan
teori hukum dan sejalan dengan filsafat hukum.
Praktik atas ilmu hukum (penerapan ilmu hukum)
dalam kehidupan nyata semestinya sejalan dengan teori hukum dan filsafat hukum.
Untuk menganalisis permasalahan hukum (isu hukum) perlu dijelaskan pengertian-pengertian
yang telah dikonsepkan, baik berwujud dalam hukum positif, teori hukum juga
pendapat hukum dari para ahli hukum, dan filsafat hukum sebagai dasarnya,
sebagai berikut :
a. Pengertian Jual Beli.
Menurut
Pasal 1457 KUHPerdata, Jual Beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak
yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang
lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Jual beli termasuk dalam
perbuatan hukum yang didalamnya terdapat suatu perikatan antara para pihak,
baik perikatan bersumber dari perjanjian maupun bersumber dari undang-undang,
didalam undang–undang mengenal jual-beli, jual-beli juga merupakan perjanjian,
begitu pula pada jual beli yang dilakukan secara online didalamnya juga merupakan perjanjian karena didalam
transaksi online terdapat suatu
kesepakatan-kesepakatan para pihak yang bisa disebut juga dengan kontrak. Biasanya
dalam transaksi online perjanjian
dibuat dalam bentuk standart / baku.
Pengertian
perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.
Kata sepakat tentang benda dan harga, telah cukup
untuk menciptakan persetujuan jual beli dan ini sesuai dengan ketentuan umum dalam Pasal 1320 yaitu
syarat-syarat subjektif mengenai “sepakat pihak-pihak yang membuat
persetujuan”. Dan syarat objektifnya di dalam Pasal 1320 ayat (3).”
“Perikatan pada umumnya di
Indonesia berdasarkan pada buku III KUHPerdata yang menganut asas kebebasan
berkontrak. Adapun perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak meskipun diberi
adannya kebebasan namun harus memperhatikan rambu-rambu pembatasnya seperti
tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan tidak
bertentangan dengan ketertiban umum. Agar perjanjian yang dibuat memperhatikan
syarat syahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu” :
a. sepakat mereka yang
mengikatkan diri;
b. kecakapan untuk membuat
suatu perikatan;
c. suatu hal tertentu;
d. suatu sebab yang halal.
b.
Pengertian Jual Beli online.
Jual beli melalui internet sering disebut dengan jual beli online, dalam undang undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mengatur transaksi
elektronik menyatakan bahwa jual beli online
termasuk dalam transaksi elektronik karena transaksi tersebut dilakukan
menggunakan media informasi dan telekomunikasi berupa internet.
Saat ini bahwa transaksi elektronik atau lebih dikenal dengan “online contrac” sebenarnya adalah
perikatan ataupun hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik yaitu
memadukan jaringan (networking) dari sistem
informasi berbasis komputer (computer
based information sistem) dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas
jaringan dan jasa telekomunikasi (telecomunication
based), yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan global
internet (network of network), oleh
karena itu, syarat sahnya perjanjian tergantung pada esensi dari perjanjian nya
dari sistem elektronik itu sendiri sehingga ia hanya dapat dikatakan sah jika
dapat dijamin bahwa semua komponen dalam sistem elektronik itu dapat dipercaya
dan atau berjalan sebagaimana mestinya atau tidak ada gangguan sistem
elektronik atau bisa disebut forcemajeur
(Edmon Makarim,
2005, Pengantar Hukum Telematika, Badan Penerbit FH UI-PT.Raja Grafindo,
Jakarta, hlm. 255).
Menurut Pasal 1 ayat (1) undang-undang Nomor 11 tahun 2008
tentang Informasi dan transaksi elektronik, pengertian Transaksi Elektronik
adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer,
dan atau media elektronik lainnya. Berdasarkan pengertian tersebut jual beli
melalui sosial media / jejaring sosial yang dilakukan menggunakan akses
internet maka termasuk kedalam transaksi elektronik.
Transaksi elektronik melahirkan sebuah kontrak elektronik
dan hubungan hukum secara elektronik, saat berbicara mengenai transaksi,
sebenarnya kita berbicara mengenai aspek materiil dari hubungan hukum yang
disepakati oleh para pihak seperti dalam KUHPerdata Pasal 1338 jo. Pasal 1320,
sehingga tidak berbicara mengenai perbuatan hukum nya secara formal, oleh
karena itu keberadaan ketentuan-ketentuan hukum mengenai perikatan sebenarnya
tetap valid karena ia akan mencakup semua media yang digunakan untuk melakukan transaksi
itu sendiri, baik menggunakan media kertas maupun dengan media sistem elektronik
(Edmon Makarim, 2005, Pengantar
Hukum Telematika, Badan Penerbit FH UI-PT.Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 254)
Pernyataan diatas sejalan dengan Pasal 18 ayat (1) UU Nomor
11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyebutkan bahwa
Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para
pihak, sehingga setiap kontrak yang dibuat baik diatas kertas maupun melalui
media sistem elektronik adalah sah mengikat para pihak jika memenuhi sarat sah
perjanjian dalam undang undang.
c. Teori Kesepakatan dalam perjanjian.
Sebagai salah satu sarat sahnya perjanjian, kesepakatan merupakan hal
yang penting dalam proses terbentuknya suatu perjanjian. Kita dapat dengan
mudah mengenali terjadinya kesepakatan apabila terdapat kesesuaian antara
penawaran dan penerimaan, sebaliknya jika terdapat perbedaan antara penawaran
dan penerimaan maka akan muncul masalah, apalagi dalam jual-beli online dimana para pihak tidak bertemu
muka. Ada beberapa teori yang berusaha untuk menjelaskan tentang kesepakatan,
yaitu teori kehendak, teori pernyataan, dan teori kepercayaan (Herlien
Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya dibidang
Kenoratiatan, Citra Aditya, Bandung , hlm. 76). Berikut penjelasan dari ketiga
teori tersebut:
1. Teori Kehendak
(WilsTheori).
Menurut teori
kehendak, faktor yang menentukan adanya perjanjian adalah kehendak. Terdapat
hubungan yang tidak terpisahkan antara kehendak dan pernyataan, oleh karena itu
suatu kehendak harus dinyatakan, namun apabila terdapat ketidak sesuaian antara
kehendak dan pernyataan, maka tidak terbentuk suatu perjanjian (Herlien
Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya dibidang
Kenoratiatan, Citra Aditya, Bandung , hlm. 76-77)
Kelemahan
teori ini adalah akan timbul kesulitan apabila terdapat ketidak sesuaian antara
kehendak dan pernyataan, karena dalam kehidupan sehari hari seseorang harus
mempercayai apa yang dinyatakan oleh orang lain (Herlien Budiono,
2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya dibidang Kenoratiatan,
Citra Aditya, Bandung , hlm. 79).
2. Teori
Pernyataan (VerklaringsTheorie).
Menurut teori
pernyataan, pembentukan kehendak terjadi dalam ranah kejiwaan seseorang,
sehingga pihak lawan tidak mungkin mengetahui mengetahui apa yang sebenarnya
terdapat dalam benak seseorang, dengan demikian suatu kehendak yang tidak dapat
dikenali oleh pihak lain tidak mungkin menjadi dasar dari terbentuknya suuatu
perjanjian, maka agar suatu kehendak dapat menjadi perjanjian, kehendak
tersebut harus dinyatakan, sehingga yang menjadi dasar terikatnya seseorang
terhadap suatu perjanjian adalah apa yang dinyatakan oleh orang tersebut. Lebih
lanjut mengenai teori ini, jika terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan
pernyataan, maka hal tersebut tidak akan menghalangi terbentuknya suatu
perjanjian (Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum
Perjanjian dan Penerapannya dibidang Kenoratiatan, Citra Aditya, Bandung , hlm.
76-77)
3. Teori
Kepercayaan (VertrouwensTheorie).
Teori
Kepercayaan berusaha untuk mengatasi kelemahan dari teori pernyataan, oleh
karena itu teori ini juga dapat dikatakan sebagai teori pernyataan yang
diperlunak. Menurut teori ini, tidak semua pernyataan melahirkan perjanjian.
Suatu pernyataan hanya akan melahirkan perjanjian apabila pernyataan tesebut
menurut kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat menimbulkan kepercayaan
bahwa hal yang dinyatakan memang benar dikehendaki, atau dengan kata lain hanya
pernyataan yang disampaikan sesuai dengan keadaan tertentu (normal) yang
menimbulkan perjanjian. Lebih lanjut mengenai teori ini terbentuknya perjanjian
bergantung pada kepercayaan atau pengharapan yang muncul dari pihak lawan
sebagai akibat dari pernyataan yang diungkapkan (Herlien Budiono,
2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya dibidang Kenoratiatan,
Citra Aditya, Bandung , hlm. 78).
Selain itu ada
juga beberapa teori tentang terbentuknya kesepakatan dalam suatu perjanjian,
yang sering diterapkan dalam transaksi online
yang berbentuk elektronic kontrac
(e-contrac), antara lain :
1.Teori penawaran dan penerimaan (offer and acceptance).
Maksud dari teori penerimaan dan
penawaran adalah bahwa pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi
setelah adanya penawaran (offer) dari
salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam perjanjian tersebut. Teori ini
diakui secara umum dalam setiap sistem hukum, namun pengembangan dari teori ini
banyak dilakukan di negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law (Munir
Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut
Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal.9).
2. Teori Kotak
Pos (mailbox Theory).
Menurut teori
ini, suatu penerimaan tawaran dari suatu perjanjian sehingga perjanjian
dianggap mulai terjadi adalah pada saat jawaban yang beriskan penerimaan
tersebut dimasukan ke dalam kotak pos (mail
box). Pemikiran dibelakang teori ini adalah bahwa perjanjian efektif
setelah pihak yang ditawari perjanjian sudah menerimanya dan sudah terlepas
dari kekuasaannya, yakni ketika dia membalas surat penawaran dan memasukannya
kedalam kotak surat Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya
Bakti, Bandung, Hal.9)
3. Teori The Postal Rule.
Teori ini
menyatakan bahwa jika penawaran menghendaki penerimaan dengan surat, maka penawaran
dianggap setelah surat dikirimkan kemudian pada saat e-mail (surat) yang menyatakan penerimaan penerimaan dikirim dari
penerima maka kontrak tersebut lahir (Adam Perdana, 2010, Analisis Kontrak Elektronik Pada Transaksi Perdagangan Melalui
Internet (E-Commerce) dalam Perspektif KUHPerdata. (Karya Ilmiah), Universitas Sebelas Maret, Solo,
hal.44-45).
a. Teori dalam Perlindungan Konsumen
Perlindungan hukum yang berkaitan dengan hak-hak konsumen dapat
didasarkan pada undang-undang Perlindungan Konsumen, dalam undang-undang
tersebut pelaku usaha mempunyai tanggung jawab yang berdasarkan UUPK, beberapa
tanggungjawab pelaku usaha terhadap konsumen salah satunya adalah Contractual Liability dapat dijelaskan
sebagai berikut : (Edmon
Makarim, op.cit, hlm. 376-377)
CONTRACTUAL
LIABILITY maksudnya, hubungan
Perjanjian (Privity of contract)
antara pelaku usaha dengan konsumen mengenai barang dan atau jasa, tanggung
jawab pelaku usaha didasarkan kepada contractual
Liability (pertanggung jawaban kontraktual). Maksud Contractual Liability adalah tanggung jawab perdata atas dasar
perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen.
Doktrin The Privitiy of Contract,
didalam doktrin ini memiliki prinsip “tidak ada hubungan kontraktual, tidak
ada tanggung jawab”-“no privity-no
liability principle”. Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai
kewajiban melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika
diantara pelaku usaha dan konsumen berdasarkan hubungan kontraktual, maka
gugatan yang dapat diajukan konsumen berdasarkan wanprestasi (breach of contract) (Edmon Makarim, op.cit, hlm. 360-361).
e. Hak dan kewajiban penjual sebagai pelaku usaha.
Menurut Pasal 6 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen, yang menjadi hak dari penjual sebagai pelaku usaha sebagai berikut :
a.
Hak untuk
menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai
tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.
Hak untuk
mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c.
Hak untuk
melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
d.
Hak untuk
rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang diperdagangkan;
e.
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban
penjual (pelaku usaha) menurut pasal 7 uu nomor 8 tahun 1999 antara lain :
a. beritikad baik
dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan,
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar
dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan atau jasa yang
diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan atau jasa yang berlaku;
e. memberikan kesempatan kepada konsumen untuk
menguji dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau
penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberikan kompensasi, ganti rugi, dan atau
penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian;
f. Hak dan kewajiban pembeli sebagai konsumen.
Pendekatan
undang-undang Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Jual Beli / Belanja secara
Online, menurut Pasal 4 UU PK menyebutkan bahwa hak konsumen adalah :
a.hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;
a. hak untuk memilih barang dan/atau jasa
serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang
digunakan;
e.
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan
pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Kewajiban konsumen atau pembeli
adalah kebalikan dari hak produsen atau penjual antara lain, berdasarkan Pasal
5 UUPK antara lain :
a.
Membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.
kewajiban
untuk memberi pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
c.
mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut;
d.
kewajiban
beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang atau jasa; kewajiban lain yang diatur undang undang lainnya.
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik agar tidak melanggar hukum dan agama