- Dasar hukum notaris dan kewenangan notaris
Menurut undang – undang nomor 02 tahun 2014 Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta outentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagai
mana dimaksud dalam undang – undang ini (undang – undang nomor 02 tahun 2014) atau berdasarkan undang-undang
lainnya.
Sedangkan kewenangan notaris berdasarkan
undang-undang nomor 30 tahun 2004 juncto undang – undang nomor : 02 tahun 2014,
kewenangan notaris antara lain :
1. Notaris
berwenang membuat akta outentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, penyimpanan akta, memberikan grose,
salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang.
2. Selain
tugas membuat akta autentik notaris juga berwenang :
-
Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan
kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus
-
Membukukan surat dibawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus
-
Membuat foto kopi dari asli surat dibawah
tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan
dalam surat yang bersangkutan
-
Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi
dengan surat aslinya
-
Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan
pembuatan akta
-
Membuat akta yang berkaitan dengan
pertanahan atau
-
Akta risalah lelang (memerlukan ijin
khusus)
3. Kewenangan lain yang diatur oleh undang-undang.
- Keabsahan akta outentik
Menurut undang-undang Akta notaris adalah
akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata
cara yang ditetapkan dalam undang-undang nomor : 2 tahun 2014.
Adapun bentuk dapat dibaca dalam
undang-undang tersebut, selain bentuk dan tata cara pembuatan juga ada syarat
lain seperti kecakapan penghadap
dalam undang-undang disebut minimal umur 18 tahun, pengahadap harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepada notaris oleh
minimal 2 orang saksi pengenal yang berumur paling rendah 18 tahun atau telah
menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum, atau diperkenalkan oleh 2 orang
penghadap lainnya, pengenalan tersebut dinyatakan dengan tegas dalam akta.
Setiap akta dibacakan kepada para pihak dan dihadiri oleh minimal 2 orang saksi, kecuali undang-undang
menentukan lain, saksi juga harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan
kepada notaris seperti ketentuan diatas. Jika akta dibuat tidak sesuai dengan
ketentuan undang-undang maka akta akan berlaku sebagai akta dibawah tangan.
Dilansir dari www.kliklegal.com
(17/04/2020) notaris Dr. Udin Nasrudin, S.H. menjelaskan terkait
e-notary, bahwa e-notary adalah konsep yang memanfaatkan kemajuan teknologi
bagi para notaris dalam menjalankan tugas-tugasnya sehari-hari, seperti
digitalisasi dokumen, penandatanganan akta secara elektronik, pelaksanaan Rapat
Umum Pemegang Saham secara teleconference dan hal lain-lain yang sejenis.
Beberapa waktu lalu memang dunia notaris telah mensosialisasikan cyber notary,
walaupun sampai sekarang masih sebatas konsep” hal tersebut disampaikan oleh
beliau.
Konsep lain dilansir dari www.irmadevita.com
(01/12/2019) menurut bapak Fardian notaris senior dan anggota Dewan Kehormatan
Pusar Ikatan Notaris Indonesia, menjelaskan bahwa cyber notary adalah istilah
untuk menjabarkan tugas notaris secara konvensional yang di aplikasikan pada
media dengan basis elektronik. Maka dari itu ada dua jenis cyber notary yang
ada yang pertama cyber notary dalam menjalankan tugasnya mengaplikasikan full
media elektronik selama pembuatan akta artinya antara notaris, penghadap, dan saksi
tidak berada pada tempat yang sama, sehingga penghadap menghadap melalui media
elektronik, pembacaan akta secara online, begitu juga pembubuhan tandatangan dilakukan
secara elektronik. Kedua : cyber notary dalam menjalankan tugasnya
mengaplikasikan media elektronik namun tetap berada ditempat yang sama dan
waktu yang sama, hanya saja selama proses pembuatan akta tidak menggunakan
perangkat konvensional seperti kertas, pulpen, dan pensil.
Menurut Dr Edmon Makarim selama ini masih
terjadi kesalah pahaman dalam menafsirkan kata “dihadapan”, sesuai dengan pasal
1868 KUHPerdata, cyber notary punya pinsip kerja yang sama dengan notaris
secara konvensional, para penghadap tetap datang ke kantor notaris, namun para
pihak langsung membaca draf akta dari masing-masing komputer, setelah sepakat para
penghadap akan menandatangani akta tersebut secara elektronik, jadi akta tidak
dibuat melalui jarak jauh menggunakn teleconference atau webcam.
Menurut Notaris Udin Nasrudin kendala yang
dihadapi dalam pelaksanaan pelayanan secara Daring antara lain, terdapat syarat
formil yang harus dipenuhi untuk mendukung keabsahan akta notaris. Syarat
formil tersebut antaralain :
1. Dibuat
dihadapan pejabat yang berwenang
2. Dihadiri oleh para pihak
3. Kedua
belah pihak dikenal oleh notaris
atau dikenalkan kepada notaris
4. Dihadiri
oleh dua orang saksi
Bahwa keempat syarat tersebut adalah
bersifat komulatif jika satu syarat saja tidak dipenuhi maka akta tersebut
cacat formil.
Persoalan tersebut yang tercantum dalam
undang-undang jabatan Notaris (UUJN) mengenai kewajiban yang harus dilakukan
oleh notaris terhadap akta yang dibuatnya, yang diatur dalam pasal 16 ayat (1)
UUJN huruf c, dan m, yaitu : c. mengenai melekatkan
surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta akta,
m.Membacakan akta di hadapan penghadap
pada minuta akta dihadapan penghadap dengan menghadirkan atau disaksikan oleh dua orang saksi atau 4
orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat dibawah tangan dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris.
Maksud dari undang-undang tersebut harus
diperluas jika ingin e-notary terwujud, yaitu dalam hal menghadap dan menyaksikan, apakah menghadap melalui video caal
atau sejenisnya termasuk menghadap atau tidak, apakah menyaksikan siaran
langsung teleconferen termasuk menyaksikan atau tidak, atau konsep seperti apa
yang di kehendaki.
Sedangkan menurut pakar telematika Edmon
Makarim ia mengatakan masalah klasik yang selalu menjadi ganjalan adalah norma keharusan kehadiran fisik dalam membuat
akta. Tidak dapat dilakukan secara elektonik karena harus melakukannya secara
fisik diatas kertas dan tandatangan juga sidik jari, seperti
dalam undang-undang jabatan notaris. Dengan tidak mengindahkan kehadiran fisik
yang dipersepsikan sebagai syarat mutlak dan tidak tergantikan oleh tatap muka
secara elektronik, maka dikhawatirkan akan mempunyai konskuensi hukum bagi
notaris.
Jadi gendala utama e-notary adalah belum
adanya aturan khusus yang mengubah atau mengganti UUJN mengenai syarat akta
autentik yang dibuat dengan metode e-notary, dan tentu belum adanya petunjuk
teknis dari stakeholder, dan apakah infrastruktur dan sumber daya untuk
mendukung e–notary tersebut sudah ada atau belum.
Tentunya untuk membuat payung hukum memerlukan kejelian pembuat undang-undang agar tidak salah, sehingga jauh dari kata “celah” pencurian data, penghilangan / perusakan data, pemalsuan data oleh orang-orang tertentu untuk mengambil keuntungan dengan cara melanggar hukum dari adanya e-notary, sehingga keamanan system adalah mutlak. Terlepas dari itu, salah satu contoh pejabat lain yang sudah menerapkan e-akta, yaitu pejabat disdukcapil, yang telah mengeluarkan akta kelahiran elektronik juga KK elektronik, meski persyaratan untuk menerbitkan akta masih harus menggunakan dokumen manual/kertas seperti bukti kelahiran dari rumah sakit atau sejenisnya, pernyataan dan lain sebagainya.
- Upaya agar e-notary terwujud (atau terwujud sebagian)
Menurut Edmon Makarim pembuatan akta tidak harus dipersepsikan hanya semata-mata dengan media kertas sehingga pembuatan akta secara elektronik dapat dilakukan dengan memperhatikan undang-undang yang berlaku, berdasar undang-undang kekarantinaan kesehatan syarat kehadiran fisik tidak bersifat mutlak dalam kondisi darurat untuk saat ini.
------------------- -------------------Edmon Makarim memaparkan “ Penggunaan tandatangan elektronik tersertifikasi menghasilkan bukti yang tak dapat ditampik sehingga memenuhi kaidah ke autentikan dan mengamankan notaris dari pertanggungjawaban teknis. Akta bawah tangan yang tidak ditampik oleh para pihak adalah berfungsi sebagai layaknya Akta Autentik” jelas nya selanjutnya ia menjelaskan “Notaris merupakan bagian dari administrasi pemerintahan dimana berdasarkan undang-undang administrasi pemerintahan dan undang-undang pelayanan publik serta undang-undang arsip, informasi elektronik telah diterima sebagai alat bukti dan memungkinkan pembuatan keputusan secara elektronik atas dasar informasi tersebut”. Selain itu ia menyampaikan bahwa pasal pengecualian dalam undang-undang ITE bukanlah suatu larangan, sehingga tidak dengan sendirinya meniadakan kewenangan notaris untuk melakukan kegiatannya dalam bentuk elektronik yang dimuat dalam pasal 5 UU ITE mengecualikan akta notaris dalam konteks dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah sehingga berpotensi menimbulkan masalah bagi notaris.
Jika
suatu saat undang-undang membolehkan konsep e-notary apakah infrastruktur dan
sumber daya telah tersedia atau perlu dibentuk atau dibuat? Apakah para notaris
sudah siap dengan metode pelaksanaan tugas yang baru yaitu dengan metode
digital, selain itu serangan teknis seperti virus, kerahasiaan data dan
lain-lain perlu diperhatikan dan dipertimbangkan, dimana secara teknis yang
menguasai hal itu (serangan virus dll) adalah ahli IT sedangkan notaris adalah
ahli hukum. Oleh karena itu pemerintah melalui Ditjen AHU Kementerian Hukum dan
HAM harus memfasilitasi mengenai tekniks support, karena notaris tidak mungkin
secara individu masing-masing membuat system untuk bertransaksi dengan kliennya,
hal itu sangat rasional karena jika notaris jalan sendiri tanpa difasilitasi
tidak khayal e-notary hanya dijalankan oleh sebagian kecil notaris yang ada.
Fungsi dari sistem digital yang dipegang oleh kementerian dan tunggal akan
memberikan kemudahan dalam pencarian data karena akta notaris adalah dokumen
Negara, dan jika suatu saat notaris yang membuat akta pensiun maka “jejak akta
digital” mudah ditelusuri dan tentunya agar terhindar dari pemalsuan, selain
itu dari segi keamanan data jika notaris secara pribadi membuat sistem
transaksi, bisa saja pihak IT dari notaris belum tentu dapat diandalkan, atau
dapatkah dipercaya menjaga rahasia dokumen atau akta yang tersimpan dalam
system elektronik tersebut.
Mengambil contoh dari system administrasi badan hukum yang sudah berjalan, apakah system dalam pembuatan akta para notaris diseluruh Indonesia dalam hal notaris memilih metode e-notary, apakah system yang telah berjalan di www.ahu.go.id dapat diduplikasi atau dibuat sejenisnya namun khusus untuk pembuatan akta elektronik (e-akta) dimana dalam akta elektronik tersebut tersimpan tandatangan digital para penghadap dan para saksi, atau jika bukan dari pemerintah melalui kemenkumham dalam ahu.go.id, dapat juga system dipegang oleh Majelis Pengawas Notaris, dimana seluruh akta akan diawasi oleh Majelis Pengawas, disini apakah Majelis Pengawas Memiliki kapasitas dan profesionalitas yang berkelanjutan dalam mengelola system tersebut, dan saya kira pemerintah tetap perlu ikut campur dalam membangun system transaksi tersebut.
Namun saat ini dua paragraph diatas masih berbentuk khayalan belaka, belum terwujud dan butuh perjuangan dan usaha pihak-pihak yang berkepentingan jika memang hal itu dikehendaki. Notaris milenial saat ini saya kira sudah melek teknologi dan tidak khayal akan terjadi “kegalauan” dikalangan notaris dalam pergeseran metode pembuatan akta, bisa jadi lambat laun terjadi pergeseran pola kerja para notaris seiring tumbuhnya tunas-tunas baru, perlahan-lahan sambil menjalankan yang telah ada dengan sedikit demi sedikit mengubah cara konvensional tersebut kedalam era digitalisasi (revolusi industry era 4.0).
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik agar tidak melanggar hukum dan agama