Hukum Perjanjian Menurut KUHPerdata

Bahan Kuliah


Mata Kuliah Hukum Perjanjian

Oleh : Bloger keren

Jurusan Syariah Prodi HKI STAI MA Cirebon


I. Hukum Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer / Burgerlijk wet Boek – BW)


A. Perjanjian sumber perikatan & Jenis Perjanjian

Sejarah panjang KUHPerdata di Indonesia hingga saat ini, sejak di berlakukan oleh kolonial belanda di Hindia Belanda, hingga di berlakukan di Indonesia sejak Kemerdekaan Indonesia. Siapakah sebenarnya penyusun BW Indonesia? BW Indonesia atau sering disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan kodisfikasi hukum perdata yang di susun di Belanda, penyusunan BW pada waktu itu sangat dipengaruhi oleh Hukum Perdata Prancis (Code Napoleon) yang disusun berdasarkan hukum romawi (corpus julius civilius), BW disususun oleh panitia diketuai oleh Mr. JM Kemper selesai pada 5 Juli 1830, lalu pada 31 Oktober 1837 Scholten van Oud Haarlem diangkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer sebagai anggota namun belum berhasil membuat kodifikasi BW, pada akhirnya dibentuk kepanitiaan lagi diketuai oleh Mr C.J. Schneither dan Mr J. Van Nes, panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUHPer (BW) Indonesia. KUHPer (BW) Indonesia ini di umumkan pada 30 April 1847 dengan staatblad No 23 berlaku pada 1 Januari 1848. Setelah Indonesia merdeka BW juga berlaku di Indonesia dengan dasar aturan peralihan pasal II UUD 1945, dengan asas concordansi. Namun, setelah kemerdekaan beberapa pasal dalam KUHPer telah di ganti dengan peraturan khusus sehingga sebagain pasal pasal KUHPerdata tidak berlaku lagi.

Perjanjian merupakan bagian dari sesuatu yang di atur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang perikatan, buku III ini sebagian besar masih berlaku untuk Indonesia hingga saat ini, termasuk dalah hal perjanjian. Perjanjian merupakan salah satu sumber dari suatu perikatan, Buku III KUHPerdata (Burgerlijk wet Boek) membedakan perikatan yang bersumber dari perjanjian menjadi 2 (dua) yaitu perjanjian bernama dan tidak bernama. 

Dasar hukum perjanjian bernama maupun perjanjian tidak bernama diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata yang berbunyi : ”semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab lain.”

a. Perjanjian Bernama

Dikatakan perjanjian bernama karena didalam KUHPerdata telah mengenalnya atau telah diberi nama oleh KUHPerdata, adapun perjanjian bernama ada 15 macam, antara lain : 

1. Jual-beli,

2. Tukar-menukar;

3. Sewa-menyewa;

4. Perjanjian melakukan pekerjaan;

5. Persekutuan perdata;

6. Badan hukum;

7. Hibah;

8. Penitipan barang;

9. Pinjam pakai;

10. Pinjam-meminjam;

11. Pemberian kuasa;

12. Bunga tetap (abadi);

13. Perjanjian Untung-untungan;

14. Penanggungan hutang;

15. Perdamaian.


b. Perjanjian tidak bernama.

Perjanjian dalam KUHPerdata menganut asas kebebasan berkontrak, maksudnya para pihak bebas menentukan isi dari suatu perjanjian yang dibuatnya, dengan ketentuan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Menurut Pasal 1338 ayat (1) menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. 

Dalam KUHPerdata Buku III disebutkan berbagai macam perjanjian dan telah mengaturnya, sehingga disebut perjanjian bernama karena telah diberinama oleh undang-undang. Sifat Buku III yang terbuka menyebabkan berkembangnya perjanjian, tidak hanya diatur dalam KUHPerdata namun juga selain itu.


Semua jenis perjanjian yang dibuat selain perjanjian bernama disebut sebagai perjanjian tidak bernama, dikarenakan sifat dari buku III KUHPerdata adalah terbuka, maksudnya para pihak bebas membuat semua jenis perjanjian dengan ketentuan dan batasan yang diatur oleh undang-undang. Semisal perjanjian kerjasama, perjanjian lisensi, perjanjian penerbitan hak cipta dan sebagainya, perjanjian tidak bernama sering disebut perjanjian inomminaat (perjanjian diluar KUHPerdata).


B. Pengertian Perjanjian & Syarat Sahnya

Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata yaitu “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. 

Syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata, antara lain : 

a.) sepakat mereka yang mengikatkan diri; 

b.) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 

c.) suatu hal tertentu; 

d.) suatu sebab yang halal.


Pasal 1320 KUHPerdata yaitu syarat-syarat subjektif mengenai “sepakat pihak-pihak yang membuat persetujuan”. Dan syarat objektifnya di dalam Pasal 1320 ayat (3).”


“Perikatan pada umumnya di Indonesia berdasarkan pada buku III KUHPerdata yang menganut asas kebebasan berkontrak. Adapun perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak meskipun diberi adannya kebebasan namun harus memperhatikan rambu-rambu pembatasnya seperti tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Agar perjanjian yang dibuat memperhatikan syarat syahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu : 

a. sepakat mereka yang mengikatkan diri;

b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. suatu hal tertentu;

d. suatu sebab yang halal.

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya suatu perjanjian adalah, sebagai berikut :  

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.

Hal ini dimaksudkan, bahwa para pihak yang hendak mengadakan suatu perjanjian harus terlebih dahulu bersepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan itu. Kata sepakat tidak sah apabila kata sepakat itu diberikan karena kakhilafan, paksaan atau penipuan (pasal 1321 KUHPerdata).

b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

Pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap (pasal 1329 KUHPerdata). Menurut pasal 1330 KUHPerdata, mereka yang tidak cakap membuat suatu perjanjian adalah :

1. Orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.

Akibat ketidak cakapan ini adalah bahwa pejanjian yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalan kepada hakim.

c. Adanya hal tertentu.

Adanya suatu hal tertentu adalah menyangkut obyek perjanjian harus jelas dan dapat ditentukan. Menurut pasal 1333 KUHPerdata, suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu dikemudian hari dapat ditentukan atau dihitung. Menurut pasal 1332 KUHPerdata, hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Selanjutnya menurut pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata, barang-barang yang akan baru ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian.


d. Adanya suatu sebab yang halal.

Adanya suatu sebab yang halal (causa dalam bahasa latin) yang halal ini adalah menyangkut isi perjanjian yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, dan tidak dilarang undang-undang (pasal 1337 KUHPerdata). Undang-undang memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan suatu perjanjian, yang diperhatkan undang-undang adalah isi dari perjanjian tersebut yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai. Menurut pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.


Apabila syarat yang pertama tidak dipenuhi (syarat subyektif), maka perjanjian dapat dibatalkan. Dua syarat yang terakhir (syarat obyektif), maka jika tidak dipenuhi maka batal demi hukum. Perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian sejak semula batal dan tidak mungkin menimbulkan akibat hukum bagi kedua belah pihak. Perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum adalah batal demi hukum. Sedangkan perjanjian dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta agar perjanjian itu dibatalkan. 


C. Pengertian Perjanjian menurut sarjana & Asas Perjanjian

Menurut Subekti suatu perjanjian adalah peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa itu timbulah suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan dengan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Bentuk perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau di tulis. 

Hukum perjanjian memiliki beberapa asas penting yang perlu diketahui sebagai dasar suatu perjanjian, yaitu :  

a. Sistem  Terbuka (open system).

Asas ini mempunyai arti, bahwa mereka yang tunduk dalam perjanjian bebas dalam menentukan hak dan kewajibannya. Asas ini disebut juga dengan asas kebebasan berkontrak, yaitu semua perjanjian yang dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata), asas kebebasan berkontrak ini tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan hukum (dilarang undang-undang).

b. Bersifat Pelengkap (optional).

Hukum perjanjian bersifat pelengkap artinya pasal-pasal dalam hukum perjanjian boleh disingkirkan, apabila pihak-pihak yang membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal undang-undang. Apabila dalam perjanjian yang mereka buat tidak ditentukan, maka berlakulah ketentuan undang-undang.

c. Berasaskan Konsensualisme.

Asas ini memiliki arti, suatu perjanjian lahir sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak, hal demikian sesuai dengan syarat sahnya suatu perjanjian (pasal 1320 KUHPerdata).

d. Berasaskan Kepribadian.

Asas ini maksud nya adalah perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Menurut pasal 1315 KUHPerdata, pada umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau diminta ditetapkan suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri. Menurut pasal 1340 KUHPerdata, suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya dan tidak dapat membawa kerugian bagi pihak ketiga.

Selain asas-asas diatas juga dijelaskan beberapa asas dalam perjanjian, antara lain : 

1. Asas Kekuatan Mengikat : Bahwa pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1338 KUHPerdata, bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak.

2. Asas Kebebasan Berkrontrak : Orang bebas, membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu ata tidak dan bebas memilih Undang-Undang mana yang akan dipakai untuk perjanjian itu.

3. Asas Iktikad Baik.

Berdasar pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, kata itikad baik berasal dari hukum Romawi yang disebut “bona fides” berarti berbuat berdasarkan pengertian yang baik, jujur dan lurus. Dalam berlakunya iktikad baik bisa berlaku sebagai pelengkap yaitu bahwa iktikad baik dapat dimaksudkan sebagai pelengkap oleh hakim dalam suatu perjanjian yang menghadapi keadaan yang lain dari apa yang dibayangkan semula dengan mengingat dari sifat perjanjian itu yang dapat diambil dari sumber-sumber yang tercantum dalam Pasal 1339 KUHPerdata ialah kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Itikad baik berlaku sebagai menyampingkan yaitu apabila hakim mengambil keuntungan dari keputusan dengan menyisihkan atau merubah suatu perjanjian, atau perkataan lain isi formil dari perjanjian (pactum) harus menyisih demi kepantasan dan kepatutan. 

Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dan 1339 KUHPerdata tentang iktikad baik dan kepatutan diterapkan sebagai untuk merubah atau melenyapkan isi dari perjanjian. Hal tersebut lebih menonjol tentang penafsirannya, sebagaimana perjanjian pada umumnya dibuat oleh para pihak dengan iktikad baik sampai pada penafsiran itu dilakukan. Jadi asas iktiad baik ini meliputi juga dalam penafsirannya. 


D. Teori-Teori Hukum dalam Perjanjian


Sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian, kesepakatan merupakan hal yang penting dalam proses terbentuknya suatu perjanjian, dimana kesepakatan merupakan pertemuan antara penawaran dan penerimaan. Kita dapat dengan mudah mengenali terjadinya kesepakatan apabila terdapat kesesuaian antara penawaran dan penerimaan, sebaliknya jika terdapat perbedaan antara penawaran dan penerimaan maka akan muncul masalah, apalagi dalam jual-beli online dimana para pihak tidak bertemu muka. Adapun beberapa teori terkait hal tersebut antara lain : 

1. Teori penawaran dan penerimaan (offer and acceptance).

Maksud dari teori penerimaan dan penawaran adalah bahwa pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam perjanjian tersebut. Teori ini diakui secara umum dalam setiap sistem hukum, namun pengembangan dari teori ini banyak dilakukan di negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law. 


1. Teori Kotak Pos (mailbox Theory).

Menurut teori ini, suatu penerimaan tawaran dari suatu perjanjian sehingga perjanjian dianggap mulai terjadi adalah pada saat jawaban yang berisikan penerimaan tersebut dimasukan ke dalam kotak pos (mail box). Pemikiran dibelakang teori ini adalah bahwa perjanjian efektif setelah pihak yang ditawari perjanjian sudah menerimanya dan sudah terlepas dari kekuasaannya, yakni ketika dia membalas surat penawaran dan memasukannya ke dalam kotak surat. 

2. Teori The Postal Rule.

Teori ini menyatakan bahwa jika penawaran menghendaki penerimaan dengan surat, maka penawaran dianggap setelah surat dikirimkan kemudian pada saat e-mail (surat) yang menyatakan penerimaan penerimaan dikirim dari penerima maka kontrak tersebut lahir. 


Ada beberapa teori lain yang berusaha untuk menjelaskan tentang kesepakatan, yaitu teori kehendak, teori pernyataan, dan teori kepercayaan.  Berikut penjelasan dari ketiga teori tersebut : 

1. Teori Kehendak (WilsTheori).

Menurut teori kehendak, faktor yang menentukan adanya perjanjian adalah kehendak. Terdapat hubungan yang tidak terpisahkan antara kehendak dan pernyataan, oleh karena itu suatu kehendak harus dinyatakan, namun apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka tidak terbentuk suatu perjanjian. 

Kelemahan teori ini adalah akan timbul kesulitan apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, karena dalam kehidupan sehari hari seseorang harus mempercayai apa yang dinyatakan oleh orang lain. 

2. Teori Pernyataan (Verklarings Theorie).

Menurut teori pernyataan, pembentukan kehendak terjadi dalam ranah kejiwaan seseorang, sehingga pihak lawan tidak mungkin mengetahui mengetahui apa yang sebenarnya terdapat dalam benak seseorang, dengan demikian suatu kehendak yang tidak dapat dikenali oleh pihak lain tidak mungkin menjadi dasar dari terbentuknya suatu perjanjian, maka agar suatu kehendak dapat menjadi perjanjian, kehendak tersebut harus dinyatakan, sehingga yang menjadi dasar terikatnya seseorang terhadap suatu perjanjian adalah apa yang dinyatakan oleh orang tersebut. Lebih lanjut mengenai teori ini, jika terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka hal tersebut tidak akan menghalangi terbentuknya suatu perjanjian. 

3. Teori Kepercayaan (VertrouwensTheorie).

Teori Kepercayaan berusaha untuk mengatasi kelemahan dari teori pernyataan, oleh karena itu teori ini juga dapat dikatakan sebagai teori pernyataan yang diperlunak. Menurut teori ini, tidak semua pernyataan melahirkan perjanjian. Suatu pernyataan hanya akan melahirkan perjanjian apabila pernyataan tesebut menurut kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan memang benar dikehendaki, atau dengan kata lain hanya pernyataan yang disampaikan sesuai dengan keadaan tertentu (normal) yang menimbulkan perjanjian. Lebih lanjut mengenai teori ini terbentuknya perjanjian bergantung pada kepercayaan atau pengharapan yang muncul dari pihak lawan sebagai akibat dari pernyataan yang diungkapkan. 


E. Wanprestasi dalam Perjanjian

Bidang hukum  privat banyak ditemukan dalam KUHPerdata, dalam Buku III tentang perikatan, antara lain ketentuan tentang wanprestasi (Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252) serta ketentuan tentang perikatan yang lahir karena perjanjian (Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351) dan perikatan yang lahir dari undang-undang (Pasal 1352 sampai Pasal 1369), terutama perbuatan melanggar hukum Pasal 1365 sampai Pasal 1369. 


F. Berakhirnya Perjanjian


Post a Comment

Berkomentarlah yang baik agar tidak melanggar hukum dan agama

Lebih baru Lebih lama