Bagi para Personal Injury Lawyes di dunia digital saat ini perlu memahami
hubungan hukum dalam transaksi online, sehingga jika ada klien merasa dirugikan
dari transaksi online dapat mengatasi kasus dengan baik. Sejarah adanya internet yang digunakan bebas oleh
masyarakat, menurut Barda Nawawi Arief dalam Komisi Hukum Nasional
(September-Oktober 2004) menyatakan sistem komputer teknologi internet adalah
hal yang baru, mulai tahun 1995 jaringan internet mulai dipergunakan untuk umum
termasuk pembisnis. Sistem ini dimulai tahun 1969 sebagai proyek militer
Amerika Serikat yang bernama ARPANET. Sejak dikenalnya jaringan internet, maka
mulai pula cyber crime, masalah Hak
Kekayaan Intelektual, dan e-commerce
(perdagangan melalui internet).[1]
Internet
sebagai hasil budaya manusia dalam bidang teknologi informasi tidak bisa lepas
dari bidang hukum, dalam ilmu anthropologi hukum juga dikenal hukum sebagai
hasil karya cipta, karsa dan rasa
manusia sehingga melahirkan aturan main dalam berinteraksi yang bisa
disebut hasil kebudayaan manusia berupa nilai, norma dan aturan. Untuk
menghasilkan kebudayaan, masyarakat melakukan proses interaksi, dalam
masyarakat hukum disebut sebagai ilmu sosiologi hukum. Semestinya hasil karya
dibidang ilmu hukum dapat mengatasi permasalahan dalam masalah e-commerce, karena pada dasarnya segala
yang ada telah ditetapkan hukumnya. Kendala yang dihadapi para penegak hukum
atau bagi masyarakat pencari keadilan (dapat diwakili Personal Injury Lawyes) adalah dasar hukum mana yang dapat dipakai sebagai
alat untuk meraih keadilan tersebut, sehingga diperlukan suatu penemuan hukum.
Untuk menentukan hukumnya maka perlu diketahui terlebih dahulu fakta-fakta
hukumnya terlebih dahulu, dalam hal ini perlu diketahui terlebih dahulu
beberapa fakta dalam e-commerce atau
transaksi online, kemudian menemukan
hukumnya dan menafsirkannya.
B. Mekanisme
Jual Beli online Untuk Mengetahui Fakta Hukum
Seorang Personal Injury Lawyes
dalam kasus transaksi online tentu harus memahami dan jeli dalam menentukan
fakta hukum yang terjadi, pada dasarnya proses transaksi e-commerce tidak jauh berbeda dengan proses transaksi jual beli
biasa pada umumnya di pasar dengan bertemunya penjual dan pembeli berikut benda
dan harga. Pelaksanaan transaksi jual beli secara elektronik ini secara umum dilakukan
dalam beberapa tahap, sebagai berikut:[2]
1. Penawaran
yang dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui website pada internet.
Penjual atau pelaku usaha menyediakan storefront
yang berisi catalog produk dan
pelayanan yang akan diberikan. Masyarakat yang memasuki website pelaku usaha
tersebut dapat melihat-lihat barang yang ditawarkan oleh penjual. Penawaran
melalui media internet hanya dapat terjadi apabila seseorang membuka situs yang
menampilkan sebuah tawaran melalui internet tersebut, bisa juga dilihat melalui
halaman sosial media / jejaring sosial baik dalam grup atau di dinding akun sosial
media / jejaring sosial seseorang, bisa juga seseorang menawarkan lewat dinding
seorang teman di sosial media / jejaring sosial.
2. Penerimaan,
dapat dilakukan tergantung penawaran yang terjadi. Apabila penawaran dilakukan
melalui e-mail address, maka
penerimaan dilakukan melalui e-mail,
karena penawaran hanya ditujukan pada sebuah e-mail yang dituju sehingga hanya
pemegang e-mail tersebut yang dituju.
3. Pembayaran,
dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui
fasilitas internet, namun tetap bertumpu pada sistem keuangan nasional, yang
mengacu pada sistem keuangan lokal. Klasifikasi cara pembayaran dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
a.
Transaksi model ATM.
b.
Pembayaran dua pihak tanpa perantara.
c. Pembayaran dengan perantaraan pihak
ketiga, umumnya merupakan proses pembayaran yang menyangkut debet, kredit
ataupun cek masuk.
4. Pengiriman,
merupakan suatu proses yang dilakukan setelah pembayaran atas barang yang
ditawarkan penjual kepada pembeli, dalam hal ini pembeli berhak atas penerimaan
barang tersebut. pada kenyataannya, barang yang dijadikan objek perjanjian
dikirimkan oleh penjual kepada pembeli dengan biaya pengiriman sebagaimana
telah diperjanjikan antara penjual dan pembeli.
Proses transaksi e-commerce
yang diuraikan diatas menggambarkan bahwa ternyata jual beli tidak hanya dapat
dilakukan secara konvensional, dimana antara penjual dengan pembeli bertemu
secara langsung, namun dapat juga hanya melalui media internet, sehingga orang
yang saling berjauhan atau berada pada lokasi yang berbeda tetap dapat
melakukan transaksi jual beli tanpa harus bersusah payah untuk saling bertemu
secara langsung, sehingga meningkatkan efektifitas dan efesiensi waktu serta
biaya bagi pihak penjual maupun pembeli.[3]
Menurut salahsatu pelaku usaha, terjadinya proses
Jual-Beli secara online melalui sosial
media / jejaring sosial, sebagai berikut : [4]
a. Penawaran.
Penawaran penjualan dilakukan secara
online media / jejaring sosial, para calon pembeli akan berteman dengan sosial
media / jejaring sosial pemilik dari toko online,
setelah saling berteman dalam secara online media / jejaring sosial, mereka
akan melihat daftar foto yang akan dibeli, kemudian mereka para calon pembeli
akan menanyakan harga dan spesifikasi barang, cara pembayaran, serta pengiriman
pada foto barang yang ditawarkan.
b.
Penerimaan
Apabila pembeli sudah cocok dengan
harga, model barang yang diinginkan, maka ia akan memesan barang tersebut
dengan cara pengiriman pesan singkat melalui SMS, dalam hal ini penjual juga
mencantumkan nomor telephone di sosial media / jejaring sosialnya.
c.
Pembayaran.
Setelah itu pembeli diminta untuk
membayar 100% dari total harga di tambah ongkos kirim, misal harga barang Rp.125.000,-
ditambah ongkos kirim Rp.35.000,- maka pembeli transfer uang ke rekening
penjual, dan segera barang dikirim.
d.
Pengiriman.
Setelah harga dan barang cocok maka
barang segera dikirim ke alamat pembeli dengan menggunakan jasa pengiriman.
Memang pada awalnya sistem ini agak sulit dipercaya oleh calon pembeli, namun
seiring perkembangan dan banyaknya testimony
bukti transaksi berupa ressi pengiriman JNE serta kepuasan pelanggan yang telah
menerima barang maka sistem ini akan berjalan tanpa ada keraguan dari calon
pembeli. Walaupun dalam tahap pengiriman sering terjadi keterlambatan barang
sampai ke pembeli selaku penjual tidak bisa berbuat banyak, pembeli juga tidak
bisa menuntut. Karena dalam pengiriman sudah dijelaskan perkiraan waktu sampai
sesuai dengan apa yang di sampaikan jasa pengiriman, jadi ketika keterlambatan
terjadi pelanggan sudah mengetahui, selain itu dari website jasa pengiriman tersebut juga dapat dilihat status barang
yang dikirim apakah sudah sampai atau sedang proses.
Mekanisme
jual-beli melalui sosial media / jejaring sosial diatas merupakan penggunaan sistem
tidak ada pertemuan antara penjual dan pembeli, sehingga pencapaian kata sepakat adalah dengan SMS atau chating secara online media / jejaring
sosial, sehingga kesepakatan bisa dikatakan yaitu pada saat pembeli sudah
menjawab dengan penerimaan dengan surat (sms dan chating digolongakan surat
pendek), berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan hal ini dapat diterima
sebagai saat lahirnya suatu perjanjian jual beli.
Mengenai kata
sepakat ada beberapa teori yang
menjelaskan saat terjadinya suatu kata sepakat, sehingga saat itu juga
lahirlah suatu kontrak. Dapat dijabarkan sebagai berikut beberapa
teori yang berusaha untuk menjelaskan tentang kesepakatan atau penerimaan
sebuah tawaran, yaitu teori kehendak, teori pernyataan, dan teori kepercayaan.[5] Sehingga dari penjelasan diatas dapat dijabarkan
sebagai berikut :
1.
Teori
Kehendak (WilsTheori).
Menurut teori kehendak, faktor yang menentukan adanya
perjanjian adalah kehendak. Terdapat hubungan yang tidak terpisahkan antara
kehendak dan pernyataan, oleh karena itu suatu kehendak harus dinyatakan, namun
apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka tidak
terbentuk suatu perjanjian[6]
Kelemahan teori ini adalah akan timbul kesulitan
apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, karena dalam
kehidupan sehari hari seseorang harus mempercayai apa yang dinyatakan oleh
orang lain.[7]
2. Teori Pernyataan (VerklaringsTheorie).
Menurut teori pernyataan, pembentukan kehendak
terjadi dalam ranah kejiwaan seseorang, sehingga pihak lawan tidak mungkin
mengetahui mengetahui apa yang sebenarnya terdapat dalam benak seseorang,
dengan demikian suatu kehendak yang tidak dapat dikenali oleh pihak lain tidak
mungkin menjadi dasar dari terbentuknya suuatu perjanjian, maka agar suatu
kehendak dapat menjadi perjanjian, kehendak tersebut harus dinyatakan, sehingga
yang menjadi dasar terikatnya seseorang terhadap suatu perjanjian adalah apa
yang dinyatakan oleh orang tersebut. Lebih lanjut mengenai teori ini, jika
terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka hal tersebut
tidak akan menghalangi terbentuknya suatu perjanjian.[8]
3.
Teori
Kepercayaan (VertrouwensTheorie).
Teori Kepercayaan berusaha untuk mengatasi kelemahan
dari teori pernyataan, oleh karena itu teori ini juga dapat dikatakan sebagai
teori pernyataan yang diperlunak. Menurut teori ini, tidak semua pernyataan
melahirkan perjanjian. Suatu pernyataan hanya akan melahirkan perjanjian
apabila pernyataan tesebut menurut kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat
menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan memang benar dikehendaki,
atau dengan kata lain hanya pernyataan yang disampaikan sesuai dengan keadaan
tertentu (normal) yang menimbulkan perjanjian. Lebih lanjut mengenai teori ini
terbentuknya perjanjian bergantung pada kepercayaan atau pengharapan yang
muncul dari pihak lawan sebagai akibat dari pernyataan yang diungkapkan.[9]
Selain itu ada juga beberapa teori tentang
terbentuknya kesepakatan dalam suatu perjanjian, yang sering diterapkan dalam
transaksi online yang berbentuk elektronic kontrac (e-contrac), antara lain :
1.
Teori
penawaran dan penerimaan (offer and
acceptance).
Maksud dari teori penerimaan dan
penawaran adalah bahwa pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi
setelah adanya penawaran (offer) dari
salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam perjanjian tersebut. Teori ini
diakui secara umum dalam setiap sistem hukum, namun pengembangan dari teori ini
banyak dilakukan di negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law.[10]
2. Teori Kotak Pos (mailbox
Theory).
Menurut teori ini, suatu penerimaan tawaran dari suatu
perjanjian sehingga perjanjian dianggap mulai terjadi adalah pada saat jawaban
yang beriskan penerimaan tersebut dimasukan ke dalam kotak pos (mail box). Pemikiran dibelakang teori
ini adalah bahwa perjanjian efektif setelah pihak yang ditawari perjanjian
sudah menerimanya dan sudah terlepas dari kekuasaannya, yakni ketika dia
membalas surat penawaran dan memasukannya kedalam kotak surat.[11]
3. Teori The
Postal Rule.
Teori ini menyatakan bahwa jika penawaran menghendaki
penerimaan dengan surat, maka penawaran dianggap setelah surat dikirimkan
kemudian pada saat e-mail (surat)
yang menyatakan penerimaan penerimaan dikirim dari penerima maka kontrak
tersebut lahir.[12]
Fakta dan teori diatas dapat ditarik benang merah
saat terjadinya kesepakatan, dimana kesepakatan mengenai harga dan benda
melahirkan perjanjian jual-beli, meski barang belum diterima dan harga belum di
bayar, itulah yang disebut kontrak elektronik. Pada uraian diatas saat
terjadinya kesepakatan adalah saat pembeli mengirimkan sms atau melalui chating via sosial media / jejaring
sosial atau lewat email. Menurut
hemat penulis chating fungsinya sama dengan email dalam konteks transaksi ini,
maka saat terjadinya kesepakatan / penerimaan adalah saat pembeli menyatakan
kehendak untuk membeli barang yang telah dipilih sesuai sepesifikasi yang
ditawarkan berikut kesepakatan harga yang ditawarkan, dengan menyatakan
kehendaknya melalui sms, chating sosial
media / jejaring sosial, atau melalui e-mail.
Mengenai kecakapan tentu saja penjual dan pembeli digolongkan orang yang
cakap, namun terkadang ada yang tidak cakap, meskipun terbukti ada salah satu
tidak cakap maka perjanjian jual beli tetap mengikat para pihak, karena syarat
subektif hanya bisa digunakan untuk membatalkan suatu perjanjian jika
dimohonkan kepada pengadilan, selama belum ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap, meski salah satu pihak tidak cakap masih tetap
mengikat para pihak.
Suatu hal tertentu, dalam jual beli online
melalui sosial media / jejaring sosial diatas tentu saja ada barang yang
diperdagangkan, adanya suatu hal tertentu adalah menyangkut obyek perjanjian
harus jelas dan dapat ditentukan. Menurut pasal 1333 KUHPerdata, suatu
perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu,
asal saja jumlah itu dikemudian hari dapat ditentukan atau dihitung. Menurut
pasal 1332 KUHPerdata, hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang
dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Selanjutnya menurut pasal 1334 ayat (1)
KUHPerdata, barang-barang yang akan baru ada dikemudian hari dapat menjadi
pokok suatu perjanjian.[13]
Selanjutnya
mengenai sebab yang halal dapat
dikatakan dalam jual beli onlie adalah sebab atau causa nya adalah akan melakukan jual beli suatu barang atau jasa
yang tidak dilarang, tujuannya adalah untuk jual-beli sehingga diperbolehkan
menurut undang-undang. Adanya suatu sebab yang halal (causa dalam bahasa latin) yang halal ini adalah menyangkut isi
perjanjian yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, dan
tidak dilarang undang-undang (pasal 1337 KUHPerdata). Undang-undang
memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan suatu perjanjian, yang
diperhatikan undang-undang adalah isi dari perjanjian tersebut yang
menggambarkan tujuan yang akan dicapai. Menurut pasal 1335 KUHPerdata, suatu
perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu yang palsu atau
terlarang, tidak mempunyai kekuatan.[14]
Menurut analisa tersebut diatas
dapat dikatakan transaksi online yang
memenuhi syarat sahnya perjanjian mengikat sebagai undang-undang sebagai suatu
kontrak antara penjual dan pembeli atau antara pelaku usaha dengan konsumen.
Fakta diatas dapat ditentukan hukumnya, yaitu tentang jual-beli yang terdapat dalam KUHPerdata, Transaksi Elektronik dalam UU ITE dan UU PK. Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, Jual Beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut penjabaran diatas dapat ditarik benang merah perjanjian online termasuk dalam perjanjian jual beli pada umumnya, karena memenuhi syarat menurut undang-undang.
Saat ini bahwa transaksi
elektronik atau lebih dikenal dengan “online
contrac” sebenarnya adalah perikatan ataupun hubungan hukum yang dilakukan
secara elektronik yaitu memadukan jaringan (networking)
dari sistem informasi berbasis komputer (computer
based information sistem) dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas
jaringan dan jasa telekomunikasi (telecomunication
based), yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan global
internet (network of network), oleh
karena itu, syarat sahnya perjanjian tergantung pada esensi dari perjanjian nya
dari sistem elektronik itu sendiri sehingga ia hanya dapat dikatakan sah jika
dapat dijamin bahwa semua komponen dalam sistem elektronik itu dapat dipercaya
dan atau berjalan sebagaimana mestinya atau tidak ada gangguan sistem
elektronik atau bisa disebut forcemajeur.[15]
Menurut Pasal 1
ayat (1) undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi
elektronik, pengertian Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang
dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan atau media
elektronik lainnya. Berdasarkan pengertian tersebut jual-beli melalui sosial
media / jejaring sosial yang dilakukan menggunakan akses internet maka termasuk
kedalam transaksi elektronik.
Transaksi
elektronik melahirkan sebuah kontrak elektronik dan hubungan hukum secara
elektronik, saat berbicara mengenai transaksi, sebenarnya kita berbicara
mengenai aspek materiil dari hubungan hukum yang disepakati oleh para pihak
seperti dalam KUHPerdata Pasal 1338 jo. Pasal 1320, sehingga tidak berbicara
mengenai perbuatan hukum nya secara formal, oleh karena itu keberadaan
ketentuan-ketentuan hukum mengenai perikatan sebenarnya tetap valid karena ia
akan mencakup semua media yang digunakan untuk melakukan transaksi itu sendiri,
baik menggunakan media kertas maupun dengan media sistem elektronik.[16]
Pernyataan diatas sejalan dengan Pasal
18 ayat (1) UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
menyebutkan bahwa Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak
Elektronik mengikat para pihak, sehingga setiap kontrak yang dibuat baik diatas
kertas maupun melalui media sistem elektronik adalah sah mengikat para pihak
jika memenuhi sarat sah perjanjian dalam undang undang. Maka fakta transaksi
diatas dapat dikategorikan dalam transaksi elektronik dan terdapat suatu
kontrak elektronik yang mengikat para pihak sehingga dalam hukum perlindungan
konsumen berlaku prinsip Hubungan Kontraktual, oleh alasan itu pelaku usaha
mempunyai beban tanggung jawab berdasarkan perjanjian dalam kontrak elektronik
tersebut (CONTRACTUAL LIABILITY).
Uraian
diatas sejalan dengan doktrin Privity of contract
(CONTRACTUAL LIABILITY).
Hubungan Perjanjian (Privity of contract) antara pelaku
usaha dengan konsumen mengenai barang dan atau jasa, tanggung jawab pelaku
usaha didasarkan kepada contractual
Liability (pertanggung jawaban kontraktual). Maksud Contractual Liability adalah tanggung jawab perdata atas dasar
perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen.
Doktrin The Privitiy of Contract, didalam
doktrin ini memiliki prinsip “tidak ada hubungan kontraktual, tidak ada
tanggung jawab”-“no privity-no liability
principle”. Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban
melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara pelaku
usaha dan konsumen berdasarkan hubungan kontraktual, maka gugatan yang dapat
diajukan konsumen berdasarkan wanprestasi (breach
of contract).[17]
Selain fakta hukum seorang Personal Injury Lawyes juga harus jeli dalam menentukan hubungan hukum antara pihak-pihak yang terkait agar tidak terjadi kurang pihak, penjabaran diatas dapat ditarik benang merah hubungan hukum antara pelaku usaha (penjual) dengan konsumen, yaitu hubungan kontraktual sehingga berdasar doktrin The Privitiy of Contract maka pelaku usaha wajib melindungi konsumen sesuai dengan isi kontrak dengan tujuan agar konsumen tidak dirugikan oleh konsumen dan konsumen berhak menuntut jika merasa dirugikan oleh pelaku usaha, kontrak disini tidak harus tertulis namun dapat juga secara elektronik berdasar asas, kebiasaan, dan teori hukum yang berkembang di masyarakat.
[1]Adul Wahid dan Mohammad Labib,
2010, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime),
Refika Aditama, Bandung. hlm.125-126
[2]Andi
Taufiq, …….., Permasalahan Hukum Dalam Jual-Beli Secara Online, www.academia.edu, di
akses pada tanggal 23 Desember 2015 12:37 WIB
[3]loc.cit.
[4]Osie
Luthfia Katrini, 2013, Pelaksanaan
Perjanjian Jual Beli Online Sepatu Lukis
Melalui Media Facebook Ditinjau dari Sahnya Perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata, Tesis Magister Kenotariatan UNDIP, Semarang.
[5]Herlien
Budiono, 2010,hlm. 76
[6]
Ibid hlm. 76-77
[7]
Ibid,hlm. 79
[8]
Ibid, hlm. 77-78
[9]
Ibid, hlm. 78-80
[10]Munir
Fuady, 2001, op.cit., Hal.9
[11]
loc.cit
[12]Adam
Perdana, op.cit, hal.44-45
[13]P.N.H. Simanjuntak, 1999, op.cit. hlm.334-335
[14]loc.cit.
[15]Edmon Makarim, 2005, op.cit, hlm. 255
[16]Op.cit, hlm. 254
[17]Edmon Makarim, op.cit,
hlm. 360-361
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik agar tidak melanggar hukum dan agama