peradilan Agama Indonesia Masa Penjajahan


Peradilan masa kolonial belanda di Indonesia

Sejak tahun 1800 M para ahli hukum kebudayaan Belanda mmengakui bahwa di kalangan masyarakat Indonesia Islam merupakan agama yg sangat dijunjung tinggi oleh pemeluknya. Penyelesaian sengketa kemasyarakatan selalu merujuk kepada ajaran agama Islam, baik soal ibadah politik, ekonomi dan kemasyarakatan lainnya. Atas fenomena ini maka para pakar hukum belanda berkeyakinan bahwa di tengah-tengah komunitas itu berlaku hukum Islam, termasuk dalam mengurus peradilan pun diberlakukan uu agama Islam.

Sebelum Belanda melanncarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah memiliki kedudukan yg kuat baik di peraturan per UU an maupun di masyarakat. Karajaan 2 Islam yg pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaan masing-masing. Usaha untuk menghapus peradilan agama oleh VOC dengan cara mengurangi kewenangan peradilan agama sedikit demi sedikit. Pada tahun 1830 Belanda memempatkan peradilan agama dibawah pegadilan umum (landraad), hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk “executoir verklaring” pengadilan agama tidak berhak menyita barang dan uang (Daud Ali : 223), tidak adanya kewenangan ini terus berlangsung sampai dengan lahirnya UU no 1 tahun 1974 ttg perkawinan.

Pada mulanya pemerintah Belanda tidak mau mencapuri organisasi pengadilan agama, tetapi pada tahun 1882 dikeluargan penetapan raja Blanda yg memuat dalam staatblad 1882 no. 152 yg memuat kekuasaan dan kewenangan Peradilan Agama meliputi : (1)perselisihan antara suami istri yg beragama Islam (2)perkara-perkara tentang : nikah , talak , rujuk , dan perceraian antara orang orang yg beragama Islam (3)menyelenggarakan perceraian (4)Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (ta’liq al-thalaq) telah ada, (5)perkara mahar atau maskawin (6)perkara nafkah wajib suami kepada istri (sumber : Abdullah Tri Wahyudi “Peradilan Agama di Indonesia” Yogjakarta : Pustaka Pelajar. 2004 h. 10-11)

Peradilan Agama pada masa kolonial Jepang

Tahun 1942 adalah tahun Indonesia diduduki oleh Jepang Kebijaksanaan pertama yang dilakukan oleh Jepang terhadap per UU an dan pengadilan adalah bahwa semua peraturan per uu an yg berasal dari pemerintahan Belanda dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan, peradilan Agama tetap dipertahankan dan tidak mengalami perubahan (sumber: Basiq Jalil “ Peradilan Islam” (Jakarta : Amzah, 2012) hal.60

Pada akhir pendudukan Jepang kedudukan pengadilan agama pernah terancam yaitu pada tatkala akhir Januari 1945 pemerintah Jepang mengajukan pertanyaan kepada Dewan Pertimbangan Agung (sanyo – Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka akan memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia yatu bagaimana sikap dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama dalam Negara Indonesia merdeka kelak.

Akan tetapi dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu sehingga Indonesia terjadi vakum of power sehingga bangsa Indonesia berinisiatif untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia maka Dewan Pertimbangan Agung Jepang tersebut musnah sehingga peradilan agama tetap eksis disamping peradilan-peradilan yang lain.

Maka setelah Indonesia merdeka maka segala urusan pemerintahan dan Negara menjadi kedaulatan Indonesia sendiri termasuk dalam hal yudikatif yang didalamnya terdapat lembaga peradilan. Dalam perjalanan kenegaraan Indonesia peradilan agama sempat berada di dalam koordinasi atau dibawah pembinaan departemen agama, meski pada akhirnya pada tahun 2006 beralih dibawah pembinaan Mahkamah Agung hingga saat ini.

Post a Comment

Berkomentarlah yang baik agar tidak melanggar hukum dan agama

Lebih baru Lebih lama