Pengertian Jual Beli Online (ecommerce) di Indonesia

sumber gambar:https://kreditgogo.com
Salah satu sumber hukum adalah Teori Hukum yang telah berlaku menyeluruh (universal), cocok (disuatu tempat) dan diakui kebenaran atas teori tersebut, sehingga semestinya sumber hukum tersebut sesuai dengan hakikat hukum itu sendiri (filsafat hukum). Sumber-sumber hukum yang diterapkan atau dipakai untuk menjawab isu hukum (permasalahan hukum), maka penting untuk diselaraskan agar sumber hukum yang digunakan sejalan dengan teori hukum dan sejalan dengan filsafat hukum.
Praktik atas ilmu hukum (penerapan ilmu hukum) dalam kehidupan nyata semestinya sejalan dengan teori hukum dan filsafat hukum. Untuk menganalisis permasalahan hukum (isu hukum) perlu dijelaskan pengertian-pengertian yang telah dikonsepkan, baik berwujud dalam hukum positif, teori hukum juga pendapat hukum dari para ahli hukum, dan filsafat hukum sebagai dasarnya, sebagai berikut:
a.    Pengertian Jual Beli.
Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, Jual Beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Jual beli termasuk dalam perbuatan hukum yang didalamnya terdapat suatu perikatan antara para pihak, baik perikatan bersumber dari perjanjian maupun bersumber dari undang-undang, didalam undang-undang mengenal jual-beli, jual-beli juga merupakan perjanjian, begitu pula pada jual beli yang dilakukan secara online didalamnya juga merupakan perjanjian karena didalam transaksi online terdapat suatu kesepakatan-kesepakatan para pihak yang bisa disebut juga dengan kontrak. Biasanya dalam transaksi online perjanjian dibuat dalam bentuk standart / baku.
Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Kata sepakat tentang benda dan harga, telah cukup untuk menciptakan persetujuan jual-beli dan ini sesuai dengan ketentuan umum dalam Pasal 1320 yaitu syarat-syarat subjektif mengenai “sepakat pihak-pihak yang membuat persetujuan”. Dan syarat objektifnya di dalam Pasal 1320 ayat (3).”
“Perikatan pada umumnya di Indonesia berdasarkan pada buku III KUHPerdata yang menganut asas kebebasan berkontrak. Adapun perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak meskipun diberi adannya kebebasan namun harus memperhatikan rambu-rambu pembatasnya seperti tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Agar perjanjian yang dibuat memperhatikan syarat syahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :[1]
a. sepakat mereka yang mengikatkan diri;
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu hal tertentu;
d. suatu sebab yang halal.


b.   Pengertian Jual-Beli online.
Jual beli melalui internet sering disebut dengan jual-beli online, dalam undang undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mengatur transaksi elektronik menyatakan bahwa jual-beli online termasuk dalam transaksi elektronik karena transaksi tersebut dilakukan menggunakan media informasi dan telekomunikasi berupa internet.
Saat ini bahwa transaksi elektronik atau lebih dikenal dengan “online contrac” sebenarnya adalah perikatan ataupun hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik yaitu memadukan jaringan (networking) dari sistem informasi berbasis komputer (computer based information sistem) dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas jaringan dan jasa telekomunikasi (telecomunication based), yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan global internet (network of network), oleh karena itu, syarat sahnya perjanjian tergantung pada esensi dari perjanjian nya dari sistem elektronik itu sendiri sehingga ia hanya dapat dikatakan sah jika dapat dijamin bahwa semua komponen dalam sistem elektronik itu dapat dipercaya dan atau berjalan sebagaimana mestinya atau tidak ada gangguan sistem elektronik atau bisa disebut forcemajeur.[2]
Menurut Pasal 1 ayat (1) undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pengertian Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan atau media elektronik lainnya. Berdasarkan pengertian tersebut jual-beli melalui facebook yang dilakukan menggunakan akses internet maka termasuk kedalam transaksi elektronik.
Transaksi elektronik melahirkan sebuah kontrak elektronik dan hubungan hukum secara elektronik, saat berbicara mengenai transaksi, sebenarnya kita berbicara mengenai aspek materiil dari hubungan hukum yang disepakati oleh para pihak seperti dalam KUHPerdata Pasal 1338 jo. Pasal 1320, sehingga tidak berbicara mengenai perbuatan hukum nya secara formal, oleh karena itu keberadaan ketentuan-ketentuan hukum mengenai perikatan sebenarnya tetap valid karena ia akan mencakup semua media yang digunakan untuk melakukan transaksi itu sendiri, baik menggunakan media kertas maupun dengan media sistem elektronik.[3]
Pernyataan diatas sejalan dengan Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyebutkan bahwa Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak, sehingga setiap kontrak yang dibuat baik diatas kertas maupun melalui media sistem elektronik adalah sah mengikat para pihak jika memenuhi sarat sah perjanjian dalam undang undang.
c.       Teori Kesepakatan dalam perjanjian.
Sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian, kesepakatan merupakan hal yang penting dalam proses terbentuknya suatu perjanjian, dimana kesepakatan merupakan pertemuan antara penawaran dan penerimaan. Kita dapat dengan mudah mengenali terjadinya kesepakatan apabila terdapat kesesuaian antara penawaran dan penerimaan, sebaliknya jika terdapat perbedaan antara penawaran dan penerimaan maka akan muncul masalah, apalagi dalam jual-beli online dimana para pihak tidak bertemu muka. Adapun beberapa teori terkait hal tersebut antara lain :
1.    Teori penawaran dan penerimaan (offer and acceptance).
              Maksud dari teori penerimaan dan penawaran adalah bahwa pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam perjanjian tersebut. Teori ini diakui secara umum dalam setiap sistem hukum, namun pengembangan dari teori ini banyak dilakukan di negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law.[4]
  
2.      Teori Kotak Pos (mailbox Theory).
Menurut teori ini, suatu penerimaan tawaran dari suatu perjanjian sehingga perjanjian dianggap mulai terjadi adalah pada saat jawaban yang berisikan penerimaan tersebut dimasukan ke dalam kotak pos (mail box). Pemikiran dibelakang teori ini adalah bahwa perjanjian efektif setelah pihak yang ditawari perjanjian sudah menerimanya dan sudah terlepas dari kekuasaannya, yakni ketika dia membalas surat penawaran dan memasukannya ke dalam kotak surat.[5]
3.      Teori The Postal Rule.
Teori ini menyatakan bahwa jika penawaran menghendaki penerimaan dengan surat, maka penawaran dianggap setelah surat dikirimkan kemudian pada saat e-mail (surat) yang menyatakan penerimaan penerimaan dikirim dari penerima maka kontrak tersebut lahir.[6]
Ada beberapa teori lain yang berusaha untuk menjelaskan tentang kesepakatan, yaitu teori kehendak, teori pernyataan, dan teori kepercayaan.[7] Berikut penjelasan dari ketiga teori tersebut :

1.   Teori Kehendak (WilsTheori).
Menurut teori kehendak, faktor yang menentukan adanya perjanjian adalah kehendak. Terdapat hubungan yang tidak terpisahkan antara kehendak dan pernyataan, oleh karena itu suatu kehendak harus dinyatakan, namun apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka tidak terbentuk suatu perjanjian.[8]
Kelemahan teori ini adalah akan timbul kesulitan apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, karena dalam kehidupan sehari hari seseorang harus mempercayai apa yang dinyatakan oleh orang lain.[9]
2.      Teori Pernyataan (Verklarings Theorie).
Menurut teori pernyataan, pembentukan kehendak terjadi dalam ranah kejiwaan seseorang, sehingga pihak lawan tidak mungkin mengetahui mengetahui apa yang sebenarnya terdapat dalam benak seseorang, dengan demikian suatu kehendak yang tidak dapat dikenali oleh pihak lain tidak mungkin menjadi dasar dari terbentuknya suatu perjanjian, maka agar suatu kehendak dapat menjadi perjanjian, kehendak tersebut harus dinyatakan, sehingga yang menjadi dasar terikatnya seseorang terhadap suatu perjanjian adalah apa yang dinyatakan oleh orang tersebut. Lebih lanjut mengenai teori ini, jika terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka hal tersebut tidak akan menghalangi terbentuknya suatu perjanjian.[10]
3.      Teori Kepercayaan (VertrouwensTheorie).
Teori Kepercayaan berusaha untuk mengatasi kelemahan dari teori pernyataan, oleh karena itu teori ini juga dapat dikatakan sebagai teori pernyataan yang diperlunak. Menurut teori ini, tidak semua pernyataan melahirkan perjanjian. Suatu pernyataan hanya akan melahirkan perjanjian apabila pernyataan tesebut menurut kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan memang benar dikehendaki, atau dengan kata lain hanya pernyataan yang disampaikan sesuai dengan keadaan tertentu (normal) yang menimbulkan perjanjian. Lebih lanjut mengenai teori ini terbentuknya perjanjian bergantung pada kepercayaan atau pengharapan yang muncul dari pihak lawan sebagai akibat dari pernyataan yang diungkapkan.[11]
b.   Teori Perlindungan Hak Konsumen.
Perlindungan hukum yang berkaitan dengan hak-hak konsumen dapat didasarkan pada undang-undang Perlindungan Konsumen, dalam undang-undang tersebut pelaku usaha mempunyai  tanggung jawab yang berdasarkan UUPK, salah satu tanggungjawab pelaku usaha terhadap konsumen adalah Contractual Liability. Contractual Liability adalah hubungan Perjanjian (Privity of contract) antara pelaku usaha dengan konsumen mengenai barang dan atau jasa, tanggung jawab pelaku usaha didasarkan kepada Contractual Liability (pertanggung jawaban kontraktual). Maksud Contractual Liability adalah tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen.[12]
Doktrin The Privitiy of Contract didalam doktrin ini memiliki prinsip “tidak ada hubungan kontraktual, tidak ada tanggung jawab”-“no privity-no liability principle”. Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara pelaku usaha dan konsumen berdasarkan hubungan kontraktual, maka gugatan yang dapat diajukan konsumen berdasarkan wanprestasi (breach of contract).[13]
e.    Hak dan kewajiban penjual sebagai pelaku usaha.
Menurut Pasal 6 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, hak dari penjual sebagai pelaku usaha sebagai berikut :
a.       Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.      Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c.       Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d.      Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang diperdagangkan;
e.       Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban penjual (pelaku usaha) menurut pasal 7 UU Nomor 8 tahun 1999 antara lain:  beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku; memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan; memberikan kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian;
f.     Hak dan kewajiban pembeli sebagai konsumen.
Pendekatan undang-undang Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Jual Beli / Belanja secara Online, menurut Pasal 4 UU PK menyebutkan bahwa hak konsumen adalah:
a.    hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.   hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.  hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya  penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.  hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.   hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.  hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.    hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
            Kewajiban konsumen atau pembeli adalah kebalikan dari hak produsen atau penjual antara lain, berdasarkan Pasal 5 UUPK antara lain :
a.       Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.      kewajiban untuk memberi pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
c.       mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut;
d.      kewajiban beritikad  baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa;
e.       kewajiban lain yang diatur undang undang lainnya.


[1]Achmad Busro, 2013, Kapita Selekta Hukum Perjanjian, Pohon Cahaya, Yogjakarta, hlm.2

[2]Edmon Makarim, 2005, Pengantar Hukum Telematika, Badan Penerbit FH UI-PT.Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 255

[3]Op.cit, hlm. 254

[4]Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal.9
[5]loc.cit
[6]Adam Perdana, 2010, Analisis Kontrak Elektronik Pada Transaksi Perdagangan Melalui Internet (E-Commerce) dalam Perspektif KUHPerdata. (Karya Ilmiah), Universitas Sebelas Maret, Solo, hal.44-45
[7]Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya dibidang Kenoratiatan, Citra Aditya : Bandung, hlm. 76
[8]Ibid hlm. 76-77
[9]Ibid,hlm. 79
[10]Ibid, hlm. 77-78
[11]Ibid, hlm. 78-80
[12]Edmon Makarim, op.cit, hlm. 376-377

[13]Edmon Makarim, op.cit, hlm. 360-361


Post a Comment

Berkomentarlah yang baik agar tidak melanggar hukum dan agama

Lebih baru Lebih lama